Bagian 1 (Surat Pengantar)

44 0 0
                                    

Teruntuk sahabatku Buya di samudera padang pasir tanah lahirnya Musa dan sang zalim Firaun.

Apa kabar kau disana kawanku? Masih lama kah kau akan mengarungi samudera yang terbentang sejauh mata memandang itu? Tak jenuh kah kulit tipis khas orang timur mu itu terbakar teriknya matahari yang membakar disana? Atau tak beku kah darahmu itu saat musim dingin yang mencekam mulai turun? Ahh.. aku terlalu berlebihan rupanya kawan. Ku doakan kau selalu dalam keadaan yang baik. Selalu dalam karunia dan lindungan dari – Nya. Ku titipkan salam untuk aliran sungai Nil yang terkenal panjang itu, yang menjadi saksi biksu akan sejarahnya para utusan – utusan Allah di muka bumi ini. Tak lupa pula ku titipkan salam untuk spink yang melambangkan ke angkuhan dan kesombongan manusia. Tentunya banyak pelajaran – pelajaran kehidupan tentang sang pencipta dan makhluknya disana. Tentang hidup yang bergandengan, tentang ketaatan dan kesombongan. Tentang hati yang tamak dan hati yang dengan sungguh mengabdi pada khaliknya.

Semoga Nil masih terus mengalir hingga jauhnya, membasahi padang – padang yang kering, hingga menjadi berkah Allah yang nyata bagi penduduk lembah tandus itu.

Bukan untuk menceritakan tanah pasir itu maksudku berikirim surrat ini padamu, karena kau tentulah lebih mengenal nya jauh lebih baik daripadaku yang hanya mengetahuinya lewat cerita – cerita Angku di surau kala kita belajar mengaji dulu. Melainkan ada maksud dan tujuan yang besar hendak ku sampaikan padamu tentang Surau tuo tempat kita mengaji dahulu. Tentang Angku yang telah berpulang tiga hari sebelum surat ini ku tuliskan. Maafkan aku yang tak bisa menghubungimu lewat surat elektronik atau sejenisnya, karena kau tahu lah dengan kampung ini. Signal operator terkuatpun tak mampu masuk ke sini.

Beliau pulang dengan tenangnya dalam sujud panjang di sepertiga malam, jumat lalu. Tanggal 13 bulan Safar di Surau Tuo, banyak lah orang berdatangan pergi ber takziah, dan tak sedikit pula yang bercucuran air matanya melepas orang tua yang berbudi baik itu. Ramai sekali Jang, hingga patah lagi lantai papan Surau kala orang menyalatkan beliau. Alhamdulillah aku dipercaya mengimami shalat empat takbir itu. Aku menulis ini, karena pesan dari beliau juga lah. Sekitar satu atau dua bulan menjelang beliau pergi, beliau menanyakan dirimu Jang. Entah sudah berapa kali belaiu menanyakan dirimu. Mulai dari kapan kau akan pulang, kabar badan dirimu disana, hingga mungkin tidaknya akan bertemu lagi beliau dengan engkau. Lagaknya teramat rindu oran tua itu padamu. Setali tiga uang dengan itu, ada perihal yang lebih mengganjal di hati orang tua itu. Tentang keadaan kampung kita yang bagai tak tahu dengan agama dan tak beradat lagi Jang. Tentang masalah ini nanti lah aku kabarkan lagi kepada engkau. Karena tak cukup kertas dan tinta kalam ku untuk menuliskannya. Jauh dibalik itu tak cukup kuat batin ku ini untuk mengungkapkan semuanya saat ini. Satu duka meninggalnya Angku sudah cukup untuk mengguncangkan iman di dadaku ini. Apalagi jika ku ceritakan semua itu kepadamu saat ini mungkin akan roboh iman ku ini. Takkan ada arti ilmu – ilmu yang diajarkan Angku kepada kita olehnya. Akan menangis sejadi – jadinya aku ini Jang, jika tak ada iman di dadaku telah ku habisi orang – orang tak tahu diadat itu.

Satu saja Jang, cepat – cepat lah kau pulang. Kampung ini butuh akan engkau.

Kawanmu Kitiang dari lereng gunung Talang, kampuang sejuta embun.

Kisah ini ku awali dengan secarik surat yang Ia titipkan padaku sewaktu kami bercerita di geladak kapal yang tengah berlayar menyebrangi selat sunda sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Begitu cepat kami akrab. Barangkali karena setanah asal. Kala itu kami berlayar menuju tanah Jawa, kapal berlayar dari pelabuhan bengkaheuni menuju merak. Mulanya ku pandangi saja pemuda itu dari kejauhan. Ku amati ia nampak sekali baru sekali itu menempuh perjalanan laut. Wajahnya yang pucat pasi dan keringat yang bercucuran jelas sekali menunjukkan ia sedang mabuk laut. Benar saja, tak lama dari itu dia berlarian kesisi kapal membuang isi perut yang tak lagi kuat ia menahan. Setelah usai, ku hampirilah dia. Ku tawarkan minyak angin dan botol minumku yang berisi air hangat. Barangkali dapat untuk menenagkan perutnya yang sedang diaduk itu.

Tak panjang ia berpikir, langsung saja ia menyambar barang – barang yang ku sodorkan itu. Sungguh lurus saja pikiran pemuda itu. Mungkin ia anak kampung yang baru sekali ini menempuh perjalanan jauh. Jika orang yang sudah sering, tentu akan berpikir – pikir benar untuk menerima bantuan dari orang yang tak dikenal. Takut akan diracuni, disihir, dihipnotis lalu dikuras habis semua uang dan barang berharga. Seperti banyaknya berita – berita yang disiarkan di televisi dan radio. Tapi untung saja aku tak terniat untuk melakukan semua itu, atau mungkin sisi baikku saja yang keluar saat itu.

Setelah agak tenang isi perutnya, barulah kami bercerita. Berceritalah ia tentang semua kisah yang ia bawakan. Dari sinilah semuanya berawal.

Surau TuoOnde histórias criam vida. Descubra agora