Komang Jaya

722 74 0
                                    

Ngurah datang sudah sekitar tiga jam lalu. Lelaki itu hanya basa-basi sebentar dengan Rani, menanyakan secuil kabar tentang Haricatra, lalu langsung terpukau di meja bersama Dhira. Rani membawakan dua gelas teh bunga hangat beraroma lemon dan sejumput kue kering segera setelah pria itu datang, dan gelasnya masih tetap penuh dua jam kemudian. Apa yang mereka bahas jauh lebih menyita pikiran daripada menyeruput teh. Kebiasaan orang-orang akademik memang begitu. Mereka melupakan hal-hal kecil untuk menyelesaikan hal-hal besar. Jika tak diingatkan Rani, Dhira hampir selalu lupa memakai ikat pinggang, sama cerobohnya dengan Haricatra yang lupa mencuci celana seragamnya setelah dipakai lebih dari empat hari.

"Mengapa Bli tidak merelakan saja tanah itu?" Rani duduk di depan suaminya, di samping Ngurah. Orang yang tidak minum teh setelah dua jam dihidangkan seharusnya diingatkan. "Toh juga kita tetap dibayar dan tujuannya juga baik."

Ada setumpuk peta dan makalah di meja bundar pendek itu. Mereka sedang duduk santai beralas tikar. Buku-buku di sekeliling Dhira telah menghipnotis mereka selama itu untuk tetap tak beranjak. Rani hanya bermaksud mengakhiri semua ketegangan itu dengan caranya. Cukup simpel. Mungkin karena memang dia tak paham masalah, pola pikirnya jadi seperti anak-anak.

"Gunung Sanghyang itu peninggalan bersejarah, Rani," Dhira membuka lembaran kertas. "Jika masalahnya hanya kompensasi, aku tidak akan sekaku ini. Siapa yang tidak mau tanah miliknya di gunung terpencil dibeli dengan harga triliunan?"

Ngurah mengangguk. Dia akhirnya menyentuh gelas dan menenggak isinya. Separuh isi gelas itu meluncur ke dalam perutnya yang gempal. Dia berniat menghabiskan satu potong kue untuk menghormati tuan rumah, tetapi aksinya terpenggal saat Rani mulai bicara lagi.

"Yang saya tahu, itu tanah warisan," Rani membuka pikiran. Ngurah adalah kawan akrab suaminya, dan mereka sudah sering terbuka sejak lama. "Itu saja. Jika bapak dan meme tidak punya maksud lain terhadap tanah itu, mereka tidak akan memberikannya pada Bli Wayan."

"Oh, ya, tentunya begitu," Ngurah membalas cepat. "Karena itu kami membicarakannya. Kami membicarakan apa yang ada di gunung itu."

Rani memindai wajah suaminya. Ada hal janggal yang disembunyikan.

"Nagapuspa, Rani," akhirnya Dhira mendesir. "Di gunung itu ada Nagapuspa."

Ada kesan yang aneh di mata Rani. Tanggapan itu terlalu membelok tajam sehingga pemaham­annya menjadi melilit. "Bukankah sejak dulu Bli beranggapan bahwa itu mitos?" Rani menyangkal. "Nagapuspa hanya ada dalam legenda."

"Sampai aku selesai menerjemahkan Prasasti Nagalaya," ujar Dhira. Tubuhnya miring ke kiri, berusaha menjangkau sebuah buku tebal usang yang terselip di tumpukan paling bawah. "Aku meneliti sepuluh naskah berbeda dari masa kerajaan Bali sebelum dan sesudah invasi Majapahit, dan akhirnya—" buku itu ditariknya. Suaranya berdebam berat ketika dihempaskan di atas meja. Dibukanya satu halaman, dan ditunjukkannya kepada dua pasang mata yang penasaran itu. "Luar biasa. Semuanya mengisahkan bunga lotus yang sama. Sebuah lotus yang tumbuh di atas batu dan menyembuhkan semua penyakit. Satu naskah bahkan menyebutkan bahwa bunga itu bisa menghidupkan orang yang mati sebelum waktunya."

"Yang kamu sebut-sebut sebagai Aji Merta Sanjiwani?" Ngurah mengambil sebatang kue. Dengan isyarat mata, dia minta izin memakannya.

"Benar," Dhira mengambil tablet PC-nya, menunjukkan sebaris huruf yang difotonya dari sebuah prasasti tembaga. "Prasasti Nagalaya dibuat oleh komunitas Pande Tamblingan tujuh ratus tahun lalu. Hanya mereka yang bisa membuat prasasti tembaga di zaman itu."

Rani mencermati gambar sketsa bunga dalam buku tua itu lalu mencuramkan alis. Ngurah manggut-manggut. Bola matanya berkilat-kilat di balik kacamata frameless-nya yang tipis.

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang