Di Mana Nagapuspa

671 69 4
                                    

"Dua setengah triliun?!" dentum Tantra. Kedua matanya nyaris keluar. "Kamu kira perusahaan ini mesin pencetak uang?"

Siang itu Tantra sudah tidak bisa lagi mengurung emosinya di dalam bilik jantung. Sejak meninggalkan ruang sidang, tekanan darahnya sudah naik dan membuat seluruh wajahnya merah. AC mobil tidak bisa menurunkan suhu di dalam darahnya. Pria berwajah bulat telur itu melengking-lengking di dalam mobil, memuntahkan seluruh energi kemurkaan laksana Gunung Versuvius. Omelan itu terus membuntuti Soni hingga mereka tiba di kantor beberapa jam kemudian.

Pintu kantor terbuka otomatis. Ken membuntuti kedua atasannya seolah-olah sedang memegang ekor dua naga buas yang tengah memuntahkan semburan api. Sedikit saja dia salah bicara, dia pasti gosong. Biarlah telinganya saja yang sumpek. Risikonya jauh lebih kecil. Untung saja kantor itu besar dan ber-AC dengan kapasitas penuh. Jarak Singaraja dan Denpasar bukan jarak yang dekat. Perlu tiga jam melintasi jalan provinsi yang berlekuk-lekuk di perbukitan utara. Yang pertama dilakukan Ken ketika tiba di resepsionis adalah memanggil gadis penerima tamu, menyuruhnya membuatkan tiga gelas jus super dingin untuk memadamkan lava pijar di dalam jantung kedua bos besar mereka.

"Kamu harus lebih hati-hati kalau bicara masalah uang!" begitu Tantra menuntut ketika pintu ruangan menyeruak lebar. Soni masuk duluan tanpa bicara sepatah kata pun. Pria itu membetulkan letak kacamatanya, melempar badannya ke kursi bos yang empuk, lalu mulai berputar-putar. Terus terang saja, Tantra adalah satu-satunya manusia di seluruh kantor pusat, cabang dan ranting Epsilon yang berani membentak CEO.

"Aku tahu apa yang sedang kulakukan, Tan," baru Soni membalas semua lolongan Tantra sejak tiga jam yang lalu sambil berputar-putar rileks di kursinya. Ketenangan yang luar biasa. Dia berhenti saat posisinya tepat beradu dengan Tantra yang berdiri jengat di sisi lain meja. "Kamu tenang sajalah, Bro."

Tantra meletupkan napas. Mulutnya bergetar muak. Pertama, dia tidak mengerti mengapa Epsilon harus membeli lahan seluas itu di sebuah gunung terpencil. Kedua, mengapa Soni begitu soknya berkata bahwa dia sanggup menganggarkan triliunan rupiah untuk relokasi. Ketiga, Epsilon harus menggelontorkan dana besar untuk analisis dampak lingkungan.

"Jika ini terkait dengan dendam lamamu pada Dhira, mengapa tidak kaucekik saja dia tadi di persidangan?" Tantra kembali sewot. Dia sudah kehilangan semua kata sopan dan basa-basi ala pengusaha besar. "Aku sekarang lebih senang melihatmu berada di dalam sel daripada duduk di situ."

Soni malah terkekeh-kekeh. Permainan emosi Tantra sungguh menggelitik. Mereka sudah satu visi selama lima belas tahun dan Soni tahu betul kebiasaan Tantra. Pria itu suka meledak-ledak dan pelitnya minta ampun. Yang dipikirkannya adalah semua uang yang terkumpul harus dijaga ketat. Tantra kadang lupa bahwa orang mengumpulkan uang layaknya memang untuk dikeluarkan. Dia cenderung menghitung jerih payah dari uang yang terkumpul, tetapi lupa bahwa untuk bergerak maju seseorang perlu mengeluarkan uang. Namanya bisnis, pasti tidak bisa lepas dari utang. Bisnis bakal jadi sakit jika utang dibuat oleh orang berotak udang.

"Tidak enak rasanya mengajarimu lagi tentang dasar-dasar bisnis, Tan," Soni mempermainkan dasinya layaknya anak-anak. "Kamu abang buat aku. Kita sedang bicara prospek dan aset. Aku tidak sedang berjudi. Aku tidak mabuk. Semua yang aku lakukan adalah untuk menyelamatkan Epsilon dari kejatuhan yang fatal."

Tantra merasa ketegangannya sedikit menurun. Dia duduk di kursi lalu menyandarkan punggungnya. Jujur saja, dia memang benar-benar ingin tahu. Selama ini Soni menyembunyikan sesuatu yang besar darinya. Itu masalahnya. Dia diperlakukan seolah-olah sebagai orang yang tidak layak tahu. Itu sebuah penghinaan terhadap posisinya sebagai pejabat tinggi korporasi.

"Kamu bicara aset macam apa?" Tantra kembali menuntut. "Bagi Epsilon, kamulah aset besar. Isi kepalamu adalah aset terbesar perusahaan ini. Jadi tolonglah aku, Soni. Tolong jangan buat otakmu sinting sehingga kami tidak sampai berpikir kamu keracunan obat ciptaanmu sendiri."

Haricatra (Trilogi Pertama, Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang