Untitled Part 1

370 0 0
                                    

Ketta sudah enam bulan tinggal bersama teman sekamar kosnya yang bernama Hayden. Awal mereka kenal, Ketta mengetahui bahwa kawannya yang cantik jelita ini selalu memiliki pacar dan hangout bersama pacarnya. Setiap habis putus, tak lama kemudian pasti Hayden memiliki pengganti yang baru. Tetapi semenjak tiga bulan ini Hayden terlihat tidak memiliki pacar dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ketta. Dan Ketta merasa sangat nyaman dan senang karena dia tidak akan minder kalau tidak memiliki pacar.

Suatu hari, ketika pulang kuliah sore hari, Ketta mendapati kamar kosnya kosong dan barang-barang Hayden tidak ditemuinya di mana pun.

Ketta mengerutkan keningnya. "Aneh. Kenapa Hayden tidak pamit padaku jika dia hendak pindah? Setidaknya aku dapat mengantar kepergiannya."

Kedua mata Ketta menangkap kilasan sebuah amplop putih di atas nakas. Gadis tersebut menghampiri surat itu dan meraihnya.

Untuk Ketta.

Ini tulisan tangan Hayden. Tanpa menunggu lagi Ketta membuka surat tersebut.

Ketta. Aku harap setelah kamu membaca suratku ini, kamu tidak akan membenciku atau men-judge bahkan jijik denganku. Aku ingin mengaku padamu bahwa aku mencintaimu. Aku tidak tahu sejak kapan aku menyukaimu, yang aku tahu saat ini aku sudah mencintaimu. Padahal kamu tahu sendiri bahwa aku tipe orang yang selalu punya gebetan atau pacar, tapi tiga bulan terakhir aku merasa nyaman meski hanya memilikimu.

Ketta, mungkin kamu sangat terkejut dengan fakta ini. Tapi selama tiga bulan ini aku terus mengukur apa yang kurasakan padamu ini. Dan semakin aku mencari tahu, semakin aku tenggelam dalam perasaan ini. Sejujurnya aku merasa jijik pada diri sendiri. Bagaimana bisa aku menyukai sejenisku sendiri? Toh kamu tahu aku memiliki banyak teman pria dan ini memang sedikit mencoreng harga diriku. Tapi seperti kataku tadi, pada akhirnya aku tidak dapat menghindari bahwa aku sudah jatuh untukmu.

Melihatmu sudah tidak lagi sama seperti saat kali pertama kita bertemu. Dulu aku biasa saja memandangmu. Namun saat ini yang aku lihat hanyalah Ketta yang memesona dan luar biasa. Aku tidak dapat menatapmu dengan biasa tanpa tergoda untuk mencicipi bibir ranummu yang polos. Aku tidak ingin membiarkanmu melihat keadaanku yang menyedihkan ini. Aku tidak ingin ditolak atau dijauhi oleh kamu. Kalau sampai hal itu terjadi, aku tidak sanggup hidup.

Maka dari itu sebelum kamu menyadari hal aneh ini, aku pun memutuskan menjauhimu. Mari kita saling melupakan satu sama lain. Orientasimu masih lurus, jangan sampai kamu belok karena pengaruhku. Selamat tinggal, Ketta...

Salam sayang, Hayden.

Ketta menggenggam surat tersebut dengan erat, gadis itu langsung menyeruak keluar dari kosnya dan mencegat taksi yang lewat. Ketta tahu bahwa saat ini Hayden sedang di bandara. Dia harus menyusul Hayden sebelum terlambat.

Entah kenapa, Ketta merasa amat sangat sedih, dia menitikkan airmata dan cemas jika Hayden sudah pergi. Maka dari itu dia terus memanjatkan doa, berharap sempat bertemu dengan Hayden.

Perjalanan setengah jam terasa sangat lama bagi Ketta, begitu turun dari taksi gadis itu berlari menuju gate internasional. Mata Ketta berkelana sekeliling, mencari sahabatnya yang baru dikenal beberapa bulan tetapi terasa sangat akrab. Dia menemukannya. Meski hanya tampak punggung dan makin jauh, Ketta dapat mengenali bahwa orang tersebut adalah Hayden. Dengan mantel hitam dan koper di sebelah kanan dan kiri kemudian sebuah tas selempang peach. Sudah pasti itu Hayden.

"Hayden!" seru Ketta dengan segenap tenaga yang dikumpulkannya. Dia tidak peduli suara yang dikeluarkannya sumbang, yang penting Hayden mendengarnya.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Orang yang dipanggil bergeming. Dengan perlahan perempuan bermantel hitam itu membalikkan tubuhnya, mengakibatkan Ketta menahan napasnya.

"Ketta?" balas Hayden seraya mengangkat kedua alisnya.

Ketta lekas berlari dan memeluk Hayden. Bulir-bulir bening pun mengalir turun menghiasi wajah Ketta. Hayden mengerutkan kening dan melepas pelukan mereka.

"What's wrong, Dear?" tanya Hayden dengan lembut. Tak ayal Ketta malah makin menangis.

"Don't go. Don't leave me."

"Maaf, Ketta. Aku harus pergi, bukan sekadar urusan pribadi. Tapi orangtuaku meminta aku mengurus usahanya di luar sekaligus melanjutkan pendidikan. Ada beberapa masalah yang harus dibereskan." Hayden menjelaskan dengan raut wajah datar.

Ketta memasang ekspresi sedih. "Bisakah kita bertemu lagi?" tanyanya.

Diam sejenak. Hayden lalu mengusap rambut Ketta. "Tentu."

"Kenapa kamu menyusulku?" tanya Hayden kemudian.

"Kamu belum pamit padaku secara langsung," jawab Ketta berpura-pura marah. Sejurus kemudian gadis tersebut tersenyum manis. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan secara langsung padaku."

Hayden mengulas senyum canggung. "Apa kamu sudah membaca suratku?" tanya Hayden lagi.

"Sudah," sahut Ketta. "Apa yang kamu tuliskan itu benar? Maksudku, apa kamu benar-benar mencintaiku?" tanya gadis itu sembari menatap Hayden dengan malu-malu.

Hayden yang ditatap oleh mata besar nan polos Ketta meleleh. "Iya, Ketta. Aku sangat mencintaimu." Terdiam sejenak. "Apa kamu jijik padaku?"

Yang ditanya menggelengkan kepalanya. "Kenapa aku harus jijik pada orang yang menyukaiku?" tanya Ketta balik.

"Mungkin kamu tidak menyukai seseorang yang menyukai sesama jenisnya."

"Aku nggak mau kamu pergi. Aku pengin menghabiskan banyak waktu bersamamu, aku nyaman bersamamu." Ketta meraih kedua tangan Hayden.

Hayden mengulum senyum sehingga lesung pipitnya tampak. "Aku akan kembali, Ketta. Aku nggak dapat menjanjikan untuk langsung kembali, tapi aku pasti akan menemuimu lagi."

"Janji, ya."

Tanpa terduga, Hayden menunduk dan mengecup kening Ketta. "Berhati-hatilah dan waspada dengan cowok-cowok yang mendekatimu. Karena nggak ada aku di sampingmu untuk menyeleksi mereka. See ya, Dear."

Airmata Ketta menetes lagi. "See ya, Dear."

Senyum kembali terukir di bibir keduanya sebelum Hayden membalik tubuhnya dan melanjutkan perjalanan menuju kabin pesawat.

Tiba-tiba Ketta merasa sendirian. Dia tidak pernah merasa sekesepian ini ketika sendirian. Dan saat Hayden berjalan menjauhinya Ketta merasa sedih dan sendirian. Apakah ini berarti dia hanya takut sendirian? Atau ada alasan yang lebih dari itu??

================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================================


Cerita ini dibuat ketika nganggur dan tiba-tiba kepikiran gitu aja. xD

Rasanya penasaran aja buat explore cerita gitu... 

Setelah membaca cerita ini, jangan mikir macam2 ya, apalagi mikir penulisnya juga gitu. Nggak kok, ini hanya untuk explore cerita dan isi pikiran. ;)

Semoga cerita ini cukup menghibur tanpa menimbulkan judgement apa-apa dari semua orang <3

With love, Emma Lini 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 08, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

WHAT'S THIS FEELING? (flashfiction)Where stories live. Discover now