diskusi ✧

10.9K 2.3K 490
                                    

“Dilayainnn! Mawu banya balon! Min-ie syuka balooon!” teriak Jaemin ketika Hyesun bertanya tentang perayaan ulang tahunnya bersama sahabatnya.

“Nno juda mawu! Balon! Balon!” teriak Jeno tak kalah berisik.

“Ak..lang? (Banyak orang?)” tanya Renjun dengan pelan, “Banya! Nanti Ibu undang-undang olang! Seluuuu! Min-ie syuka!” Jaemin bertepuk tangan heboh, anak itu senang sekali ketika Taeil bertanya perihal perayaan ulang tahun.

“Tapi Nno nda mawu banya olang! Mawu balon ja janan olang-olang.” seru Jeno yang tidak setuju dengan penuturan Jaemin, “Tapi tapi banya olang seluuu! Banya temen! Nno napa nda syuka? Njun syuka banya olang nda?”

Renjun menggeleng, “Da..bicik,”

“Ibu ibuuu! Masya nda undang-undang olang?” Teriak Jaemin dengan kurva melengkung ke bawah, sedih, kedua sahabatnya tidak menyukai rencananya.

Hyesun terkekeh, “Gak usah, ya? Teman-temanmu gak suka.” Hyesun menyingkirkan rambut yang menghalangi dahi Jaemin.

“Mau undang-undang olaaang!” Jaemin menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Tapi Nno ma Njun nda syuka!” seru Jeno tidak terima.

“Tapi Min-ie mau banya olaang!” Jaemin masih saja kukuh dengan keinginannya. Hyesun menghela napas, kedua anaknya siap bertengkarㅡlagi.

“Sudah, sudah.. jangan bertengkar. Lihat Njun ketakutan,” lerai Hyesun. Kedua anak yang semula bertengkar melihat ke arah Renjun, sebenarnya Renjun hanya terganggu, bukan ketakutan.

“Njun?” panggil Jaemin, “Njun atut?” tanya Jeno pelan, takut Renjun benar-benar marah. Kedua anak itu melihat Renjun takut-takut.

“Da..” jawab Renjun pelan, “Pi bicik (tapi berisik).”

Hyesun hanya tertawa ketika melihat Jeno dan Jaemin yang langsung bungkam, lucu sekali. Entah kenapa kedua anak ini mudah sekali menuruti perkataan Renjun, sangat menjaga Renjun tanpa mereka sadari.

Tuh kata Njun berisik, bilang apa coba?”

Dua anak itu diam sebentar, “Map Njun..” cicit Jaemin sembari menunduk dan memainkan jarinya, “Nno juda map,” Jaemin dan Jeno mengerucutkan bibirnya, mata mereka mulai berkaca-kaca ketika tak kunjung mendapat respon dari Renjun.

“Njun map hiks,” bulir air mata Jaemin jatuh, “Njun malah hiks,” ternyata si tampan Jeno juga mengikuti jejak Jaemin untuk menangis.

“Huwaaaaa Njun malah hiks,” tangis Jaemin yang pecah membuat Renjun panik, “Pa? Buuu! Ani buuu! Tuh tuh ani! (Kenapa? Ibuuu! Nangis bu! Itu itu nangis!)” Renjun menunjuk-nunjuk Jaemin dan Jeno seraya menarik baju Hyesun.

“Hei, udah.. jangan nangis,” Hyesun menenangkan Jeno dan Jaemin, menepuk nepuk bahu keduanya, “Da benti, bu.. anina hiks, (Tidak berhenti bu, nangisnya)” melihat kedua temannya tidak berhenti menangis, Renjun akhirnya ikut menangis.

“Njun tut angis huwaaa! (Renjun ikut nangis)” akhirnya ruang tengah diisi oleh tangis ketiganya.

Hyesun menghela napas lelah dan tersenyum getir. Menangis satu, menangis semua. Benar-benar tiga sekawan, batinnya.

•••

“Buuu! Mawu mam.” ucap anak 3 tahun seraya berlari, “Lapar ya?” anak itu mengangguk lucu.

Hyesun tersenyum, “Mau disuapin atau makan sendiri?”

“Mam dili!” jawab anak itu dengan semangat, “Oke, tunggu sebentar sayang.” anak itu menganggukㅡlagi.

“Lin, ibu mana?” tanya Hendery yang baru saja datang, “Wa mam linlin,” Hendery hanya mengangguk tanpa menjawab.

“Pulang kolah?” tanya Gualin penasaran, “Iya, Linlin mau sekolah gakk?”

Anak itu tampak berpikir, “Pe nda?” Hendery terkekeh, “Nggak kok, gak capek sama sekali. Sekolah itu seru.”

“Celu?”

“Iya, banyak temen.” anak itu diam sebentar, “Pi sini linlin nyak temen,”

“Coba temen Linlin siapa saja?” Guanlin mulai menghitung menggunakan jemari mungilnya, “Min-ie, Nno, Njun, Eun, Yeol, Kak Deli, Kak Jun, nyak!” Hendery mengusak lembut surai anak tampan itu, “Pinter.”

Hyesun menghampiri mereka dengan piring berisi nasi di tangannya. “Udah pulang, Dery?”

“Udah, Bu.” jawabnya dengan santun, “Udah makan?”

“Udah tadi bareng Xiaojun,” Hyesun hanya mengangguk lalu menyodorkan piring ke arah Gualin, “Ini, bisa makan sendiri?”

“Bicaaa! Linlin dah becallll!” Hyesun tertawa kecil, “Ini, habisin ya.”

“Iya Buuu.” Gualin berjalan meninggalkan Hyesun dan Hendery.

“Xiojun mana?”

“Ada tugas, Bu. Kemungkinan pulangnya terlambat.” Hyesun mengangguk, “Sini ikut Ibu,” titah lantas mendudukan dirinya di sebuah kursi yang diikuti oleh Hendery.

“Dery.. bener kamu mau nolak adopsi itu?” tanya Hyesun dengan hati-hati, “Iya, Bu.” Hendery menjawab dengan pasti.

“Gak mau punya orang tua?”

Hendery menarik napas, “Ibu dan Bapak 'kan Orangtua Dery,”

“Tapi seenggaknya kamu juga pasti mau punya keluarga yang menyenangkan,”

“Ibu, Dery udah berkali-kali bilang.. keluarga Dery ada disini, buat apa Dery cari yang lain? Disini lengkap, Bu. Dery punya Bapak, punya Ibu, punya Kakak, punya adik juga. Apa lagi yang harus Dery cari?”

Hyesun mengusap air matanya yang jatuh, “Tapi pasangan itu terus mengajukan berkas dan minta kamu untuk ikut bersama mereka,” Hendery memegang tangan Hyesun, “Cukup bilang aja Dery gak mau, sekarang ataupun nanti.”

“Yaudah,” Hendery menghapus air mata Hyesun yang sempat mengalir, “Ibu jangan nangis, aku gak akan kemana-mana.”

Hendery dan Xiaojun adalah yang tertua di yayasan ini. Mereka bersama sejak kecil, hingga ketika mereka diminta untuk ikut dengan keluarga baru, mereka menolak. Alasannya karena yayasan ini adalah keluarga yang sebenarnya bagi mereka berdua.

.
.

t b c

Kok jadi dramaaaa? ☺

Oh iya, maaf ya kalo cerita ini gak seru😔

Orphanage, Norenmin.Where stories live. Discover now