S

58.7K 7.8K 1.6K
                                    

Daisy tidak berharap banyak dari penginapan Jero, mungkin sedikit reyot dan sangat terpencil—tapi tidak masalah, terutama di bagian terpencilnya itu.

Maka ketika mobil van akhirnya berhenti di depan sebuah rumah dengan papan nama Praba Guest House yang dipaku di atas kotak surat vintage, Daisy terkesima.

Guest house milik Jero luas—dua rumah bersebelahan—dan sangat terawat, bahkan yang paling kelihatan bersih di antara rumah-rumah sekitarnya yang masih milik nelayan setempat. Yang membuatnya lebih menarik lagi, tempat ini dekat dengan pantai lokal. Dan sepi. Tekankan kata sepi, karena itulah yang paling dibutuhkan Daisy. Sepi dan tenang.

Daisy menyeret kopernya menuju guest house. Beberapa turis asing sedang duduk santai di teras rumah sambil menikmati kopi dan mengobrol tentang ombak surfing. Begitu melihat Jero, mereka langsung menyapanya dengan akrab.

Timo berbisik. "Mereka tamu lama di sini. Udah tinggal sebulan dan udah akrab banget sama Jero, sering surfing bareng. Maklum, rata-rata turis di Pemuteran emang niatnya tinggal lama, bukan cuma sekedar melancong."

Pandangan Daisy mengedar ke sekeliling rumah. Kondisinya sangat layak huni. Bersih. Nyaman. Daisy bisa menebak mereka sudah memugar bentuk awal rumah ini untuk membuatnya benar-benar selayaknya tempat penginapan. Di tempatnya berdiri saat ini, membentang lorong panjang dengan beberapa pintu kamar yang diberi nomor.

Satu hal yang paling mencolok dari tempat ini, adalah lukisan-lukisan abstrak yang digantung di sepanjang dinding koridor. Jumlahnya sangat banyak. Bahkan Daisy juga menemukan lukisan dengan tema yang sama di dinding ruang utama dan di belakang meja resepsionis.

"Jadiiiiii ... selamat datang di Praba Guesthouse, Nona Daisy.  Semoga Anda menyukai pengalaman menginap di sini, karena kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami," Timo berjalan ke meja resepsionis dan pura-pura membungkuk hormat.

Daisy tersenyum padanya.

"Boleh minta kartu pengenal? Buat formalitas aja."

"Oh, boleh." Daisy membuka tas untuk mulai merogoh dompet.

Tangannya mencari-cari, kemudian mengorek semakin dalam, mencari-cari lagi, lalu mengorek lagi dan mulai panik. Dibukanya tas itu lebih lebar untuk melihat isi di dalamnya. Kemudian jantungnya seperti lepas. Astaga, dompetnya raib.

Mustahil. Ia membawa dompet itu sampai ke bandara, lalu naik ke pesawat dan bahkan sempat memeriksanya sebelum tidur dan ia yakin—sial ... sial, sial, sial, Daisy memejam mata kalut. "Bodoh ...." Ia meletakkan dompet itu ke dalam tas, lalu meletakkan tasnya begitu saja ke bawah bangku dan tidur lelap dengan santai.

Padahal penumpang wanita di sampingnya kelihatan ramah dan innocent. Ditambah lagi usianya yang sudah tua, siapa yang bakal curiga kalau dia adalah pencuri?

"Dompet gue hilang," seru Daisy.

Timo menjentik jari memanggil Jero dan Keiko. Sudah bisa diduga, Keiko adalah yang pertama yang mempersilakannya pulang.

"Nggak ada uang berarti nggak bisa tinggal. Ini bukan tempat penampungan."

Timo terkekeh canggung. "Tapi dia pasti bisa bayar. Dia Daisy Yasa. Iya, kan?"

Daisy terlalu shock untuk menjawab. KTP-nya, kartu kreditnya, foto masa kecilnya yang cuma satu-satunya—

"Masih banyak tamu yang bakal datang dan sisa kamar kita tinggal sedikit. Utamakan yang bayar duluan. Iya kan, Jero?" Seru Keiko.

"Tamu yang mana sih, Kei?" Timo mengernyit. "Makhluk astral maksud lo? Atau penunggu gunung? Guest house kita lagi sepi gini."

"Tiga hari lagi rombongan dari Korea datang, kamu lupa?"

Every Little ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang