u

47.1K 7.7K 1.2K
                                    


Toni Yasa mengisap cerutunya dalam-dalam, dengan kening berkerut di atas kedua alis tebalnya yang mulai memutih. Senyumannya merekah sombong, seperti biasa.

"Aku tahu Papa mau bilang apa," Elizabeth Yasa menggerutu sebal.

"Lihatlah," tangan keriput sang Naga Asia—demikianlah julukan Toni Yasa si manusia terkaya se-Asia—bergerak menyapu pemandangan gedung-gedung tinggi Singapura. "Semua ini akan jadi milikmu kalau nanti aku mati."

"Mungkin Papa harus berhenti mengisap cerutu. Nanti betulan cepat mati!"

Toni terkekeh. "Pertanyaannya, Liz, siapa pewaris kamu ... kalau nanti kamu menyusul aku ke nirwana?"

Bibir Elizabeth Yasa perlahan menegang. Nama Marcel pun meluncur.

"Bah! Mario?! Apa yang bisa kamu harapkan dari menantumu itu?! Anak itu lebih lurus dari penggaris!"

"Bianca, kalau begitu. Kebalikan dari suaminya, anak itu licik seperti rubah."

"Aku mencintai cucuku lebih dari diriku sendiri. Tapi tolong, Liz, tolong jangan paksa aku tertawa. Dahak di paru-paru aku sudah menggumpal! Si kuda liar itu mana bisa jadi bos?!"

Elizabeth pun melenguh panjang. Tidak mungkin dinasti perusahaan, industri properti, dan pundi-pundi harta kekayaan Toni Yasa yang diraihnya dengan susah payah mulai dari nol, diserahkan kepada kakak-kakak laki-lakinya atau anak-anak mereka. Sama saja seperti mengundang harimau masuk ke dalam rumah.

"Papa jangan ngomong mati dulu. Masih lama. Jangan dipikirin." Elizabeth berusaha mengalihkan pembicaraan. Pusing kepalanya. Siapa bilang jadi orang kaya itu gampang? Belum masuk ke peti mati saja sudah memikirkan pewaris.

Tapi Toni bergeming. "Berikan pada Daisy."

Elizabeth pun sukses dibuatnya melongo. "Papa pasti bercanda."

"Justru aku belum pernah seserius ini."

"Marcell saja Papa bilang lurus seperti penggaris! Apalagi Daisy? Daisy itu jiplakan persis bapaknya!"

"Marvell sudah tua, sifat kaku dan jujurnya sudah mendarah daging. Sementara Daisy masih muda, masih tujuh belas tahun. Setir dia, rubah mindset-nya, ajari dia bisnis dan ajak dia terjun ke dunia kita selagi masih muda. Aku yakin dia bisa."

"Mendingan Bianca daripada Daisy!"

"Jangan bantah aku."

"Pa! Ini kita bicara soal Daisy. Anak itu masih terlalu polos."

"Ya makanya tugas kamu ngajarin dia belok dikit."

"Papa gampang bener ngomongnya—"

"Kenapa sih kamu melawan aku?"

"Karena aku nggak mau Daisy bernasib sama seperti aku!"

Toni Yasa menurunkan cerutunya untuk mengamati sang putri bungsu.

"Hidupku tenang sebelum Papa menurunkan semua jabatan penting itu buat aku. Aku menikmati pernikahanku dengan Albert, aku baik-baik saja dengan kegiatanku sebagai ibu, istri, dan nenek, aku bahkan punya kegiatan sederhana yang aku cintai seperti Bedah Alkitab setiap Senin malam—" 

Mata Toni Yasa membelalak ngeri.

"—aku normal, lalu tiba-tiba Papa mewariskan semua ini ke aku dan membuat aku terseret dalam drama 'perebutan harta warisan' dengan kakak-kakakku yang iri hati. Hidupku jadi penuh tekanan, stress, tiap hari aku bangun tidur memikirkan apa langkah berikutnya yang harus aku lakukan demi melindungi perusahaan dari kebangkrutan—"

"Sotoy kamu. Yasa mana bisa bangkrut?"

"—lalu sekarang Papa mau Daisy mengalami hal yang sama seperti aku?!"

Every Little ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang