Tamu

6 0 0
                                    


Mata Guratri sibuk berkeliling mengamati muka muka tegang orang disekitarnya. Paduka Ratu Kusuma Ratih tak kalah tegang dengan lima puluh anak buahnya. Tapi diantara wajah wajah tegang itu Nyi. Retna Dewati lah yang paling tegang.

"Hamba mohon maaf yang mulia. Sekiranya hamba tidak mengerti bilamana Adimas Dipaningrat membelot." Ucap wanita berusia kepala tiga itu dengan kepala menunduk.

"Saya paham Dewati. Nampaknya sepeningga yang mulia prabu Duksina dia kehilangan arah. Betul demikian Guratri?" Guratri yang setengah melamun tergeragap mendengar namanya dipanggil yang mulia Ratu. Dengan terbata bata dia menjawab.

"Saya kira tidak sepenuhnya demikian yang mulia. Meskipun Kakanda Adimas adalah seoraang patriot, dia adalah sosok yang cukup menyukai ilmu kemiliteran yang mulia. Saya khawatir bilamana selama ditanah Yuan kakanda Adimas dihasut sedemikian rupa sehingga membela Pangeran Haryo Adiningrat."

"Guratri, jika engkau ingin hidup bersamanya sekarang sungguh masih ada kesempatan." Kali ini Guratri menjaab pernyataan sang ratu dengan tegas.

"Tidak yang mulia. Hati dan jiwa saya untuk Swarnadwipa dan Bhayangkari. Untuk Yang Mulia Kanjeng Ratu." Walaupun begitu mata Guratri terlihat berkaca kaca. Semua orang di detasemen Bhayangkari mengerti bahwa Guratri terluka dalam. Mengingat orang yang dikasihinya yang selama ini dia kira meninggal ternyata masih hidup dan mengunjunginya beberapa hari lalu.

17 September 1983 Beberapa hari sebelum rapat detasemen Bhayangkari dihelat

Kerajaan Swarnadwipa adalah kerajaan kepulauan kecil di tenggara daratan Asia. Begitulah kata yang dulu pernah didengar Guratri dari bibir Nyi Retna Dewati kawannya yang bertugas sebagai kepala mata mata detasemen Bhayangkari. Walaupun Swarnadwipa tidak sebesar Yuan dan tidak segagah Tsar, letak nagari Swarnadwipa sangat strategis. Dengan bumi Yuan dan Tsar diutara, tanah Jepun diarah matahari terbit dan tanah Yanadwipa dibarat banyak orang asing datang ke negerinya untuk sekedar beristirahat dan bertukar dagangan. Sekali lagi itu kata Retna Dewati. Sebab Guratri sendiri tidak pernah kelar dari Swarnabhumi, ibukota kerajaan Swarnadwipa. Setidaknya sampai dua tahun lalu.

Dua tahun silam orang orang asing tersebut mulai serakah. Tidak hanya yang berambut kuning kecoklatan tapi juga yang bermata sipit berkulit kuning. Mendiang Prabhu Sanjaya Duksina adalah seorang raja bijaksana dan berpemikiran terbuka. Sejak awal sang Prabhu menerima dengan hangat para orang asing tersebut. Karena selain berdagang para orang asing tersebut juga menawarkan banyak hal termasuk pendidikan untuk rakyat jelata. Sampai kemudian jiwa hangat sang Prabhu ditikam dari belakang. Para interniran asing tersebut mulai berebut kekuasaan. Sang Ratu yang sudah cukup lama mengetahui hal tersebut mulai memperingatkan suaminya. Meskipun kemudian tidak digubris. Hingga puncaknya dua tahun lalu saat terjadi perang besar besaran secara tiba tiba antara pasukan rambut coklat dengan para pemilik kulit kekuningan. Angkatan bersenjata Swarnadwipa yang kalah jumlah ditengah perang kocar kacir bahkan sebelum bertindak menyelamatkan keluarga Raja. Beruntung pasukan detasemen wanita Bhayangkari yang sejak dibentuk memang ditugaskan untuk melindungi Ratu sempat melarikan diri ke Pulau Rangkong sebelum akhirnya Raja tewas ditengah hutan sebab kehilangan banyak darah setelah ditembak.

Guratri baru saja menyelesaikan pekerjaannya menghaluskan ujung sumpit ketika Nyi. Kismanggalawati menyodorkan lima kantung racun yang sudah siap digunakan.

"Retna Dewati baru saja tiba dari Yuan." Demikian kata senior Guratri tersebut sembari duduk disamping gadis itu.

"Oh ya? Apa yang dia bawa?" Kismanggalawati mengedikkan bahu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 28, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TamuWhere stories live. Discover now