"Mana bisa dia main resign aja? Mestinya dia pamit dan tetap kerja sampai kita dapat pengganti dia kan?" cercaku pada Burhan yang hanya dijawab dengan tatapan frustrasi.

"Cariin pengganti Melisa hari ini. Maksimal jam 10. Gue nggak mau tahu gimana caranya. Bisa berantakan semua jadwal gue tanpa sekretaris." Ultimatumku yang sudah pasti membuat Burhan serasa mendapat hari sial.

Selesai urusan dengan HRD kampret yang nyatanya paling betah berstatus sebagai temanku itu, aku mendudukkan diri di balik meja. Mulai mengecek e-mail masuk. Mengirimkan pesan balasan. Bahkan mengecek ulang semua jadwalku tanpa terkecuali.

Larut dalam pekerjaan, hingga tidak sadar sudah jam makan siang. Jika bukan karena mama menelepon untuk mengingatkan makan siang, berujung dengan bujukan ikut makan malam seperti tadi pagi.

Mendengus kesal, ini sudah lewat dua jam dari ultimatumku pada Burhan untuk mencarikan pengganti Melisa. Ingin cari mati dia sepertinya.

Menunda makan siang, tanganku yang terasa kebas karena terlalu banyak mengetik terpaksa kuistirahatkan. Menikmati kesunyian seperti ini adalah caraku agar tetap waras ketika pekerjaan mengimpit tanpa ampun.

Hingga kesunyianku diusik dengan ketukan pintu.

"Masuk," kataku dingin.

Muncul Burhan yang memandangku dengan cengiran bodohnya. Belum sampai mulutku mengucapkan kalimat makian, dia sudah lebih dulu berucap. "Selamat siang, Bu. Maaf mengganggu waktu istirahat anda. Sebelumnya saya meminta maaf atas keterlambatan saya dalam menyediakan sekretaris pengganti Melisa."

Formal, ah ... sudah pasti ada orang lain—selain kami tentu saja.

"Bawa masuk dan tutup pintunya. Kamu bisa melanjutkan istirahatmu. Dan terima kasih," jawabku sama formalnya.

Tapi, sepertinya makianku memang tercipta untuk Burhan yang suka ngaco. Bagaimana tidak, sekretarisku sekarang adalah laki-laki! Dan menurut kaca mataku, dia lebih pantas menjadi bintang film ketimbang pekerja kantoran.

Belum lagi tubuh tinggi menjulang miliknya. Sialan! Bisa-bisa, aku yang dikira sekretaris laki-laki ini nanti. Burhan kampret.

Sayang, makianku harus tertelan lebih dulu. Karena Burhan sudah kabur dari hadapanku. Menyisakan laki-laki berwajah tenang itu dengan posisi berdiri tegak di dekat pintu.

"Maaf, apa tugas pertama yang harus saya lakukan?"

Burhan kampreeeeeet. Sialaaaaaaan. Kenapa malah aku yang terasa terintimidasi di sini? Jeritku dalam hati.

"Duduk, akan saya jelaskan." Ucapku dingin, setelah berhasil menetralkan keadaan.

Laki-laki yang mulai hari ini menjabat sebagai sekretarisku itu duduk di depanku dengan sopan. Tapi tatapan matanya membuatku ingin lari, karena terlalu tajam.

Jika biasanya aku yang mengintimidasi. Kenapa sekarang malah aku merasa terintimidasi. Dia sendiri tidak gentar dengan suara dan tatapan dingin milikku.

Tahan banting juga mentalnya, bisikku lagi dalam hati.

"Perkenalkan diri dengan singkat!" perintahku angkuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang