Red String

257 46 21
                                        

Red String
Lee Jinwoo | Son Dongpyo

WARNING!
BXB, shonen-ai, minnor romance, one shoot!

I'm warned you dear~

• • •

Awan gelap menutupi langit sore pada minggu itu. Perlahan-lahan tetes air menjadi gerimis yang lembut, lama-kelamaan gerimis itu berganti menjadi hujan yang lebat. Orang-orang mungkin sedang bersantai di rumah mereka, dengan secangkir teh dan sepiring butter cookies yang baru saja diangkat dari pemanggang, tak lupa dengan sendau gurau dengan keluarga mereka.

Hal itu tidak berlaku untuk toko roti usang yang ada di tengah kota. Meski usang, toko tersebut dipenuhi oleh para pelanggan—yang kebanyakan adalah orang kehujanan dan memutuskan untuk meneduh. Di depan emperan toko, berdiri pemuda dengan sekantong plastik putih—entah berisi apa—di genggamannya. Rambut ikalnya terlihat sedikit panjang dan lepek, mungkin dia juga kehujanan ditambah celana jeans dan jaket hoodie yang terlihat lembab.

Hari mulai menjadi malam, tapi hujan masih senantiasa membasahi bumi dengan ribuan tetes airnya. Pemuda itu masih belum beranjak dari emperan toko, disinari cahaya dari  lampu toko dan menatap langit kelabu. Jemari tangannya menggenggam erat kantong plastik yang sedari tadi dibawanya. Tatapan itu memohon, seolah meminta agar langit berhenti menangis. Ditemani aroma roti yang baru diangkat dari pemanggang, pemuda itu masih menunggu di sana.

Lampu dari toko roti usang itu padam sekejap lalu menyela kembali. Hujan mulai reda, menyisakan gerimis tipis saat jam di toko roti menunjukkan pukul tujuh malam. Toko roti usang itu mulai terlihat lenggang dengan para pelanggan yang mulai berkurang. Orang-orang yang tadinya berada di dalam toko, satu persatu mulai meninggalkan toko. Pemuda yang sedari tadi berada di luar, kini tak terlihat lagi.

Sepatu kets usangnya melangkah pada trotoar yang basah, beberapa genangan air dilewatinya. Hujan benar-benar telah berhenti beberapa saat yang lalu, langit malam mulai menampakkan bintang-bintang. Deru kendaraan seolah tiada hentinya, mereka melaju di atas jalanan aspal. Suasana malam yang menemani perjalanan pemuda itu.

Pemuda itu memasuki pekarangan rumah yang tampak sederhana dan melangkah memasuki rumah minimalis dengan cat berwarna putih. Rumah itu tampak gelap, seolah tak berpenghuni—karena nyatanya memang begitu.

Namanya Jinwoo, pemuda 17 tahun yang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Kedua orangtuanya bercerai setahun lalu—tidak, dia tidak merasa sedih. Dibandingkan rasa sedih, dia justru merasa lega karena setidaknya tidak ada pihak lain yang tersakiti setiap kedua orangtuanya bertengkar. Setelah perceraian itu, Jinwoo tinggal bersama sang ibu yang kini berada di rumah sakit.

Setelah menyalakan lampu dan melepas sepatu kets usangnya, pemuda itu melangkah menuju kamarnya. Ruangan minimalis yang diisi oleh satu single bed, meja belajar dan lemari pakaian juga meja kecil yang berada di sudut kamar. Kini pemuda itu berjongkok di hadapan meja kecil yang ada di sudut kamarnya. Di meja itu, terletak sebuah figura foto dengan wajah seorang gadis tengah tersenyum tanpa beban.

“Selamat ulang tahun, Nako.” Pemuda itu tersenyum kecil, mengingat kembali sosok sang gadis yang begitu berharga untuknya. Mengambil kue kacang yang tadi dibelinya sebelum hujan membuatnya terjebak di teras toko selama berjam-jam.

“Kau menyukai kue kacang ‘kan?” Pemuda itu tersenyum, senyum yang menyiratkan rasa rindu. “Aku merindukanmu, selalu merindukanmu.”

Red String ✓ | ljw • sdpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang