[15] Yang Begini Nih Korban Hegemoni!

Começar do início
                                    

Manusia dengan uang, pekerjaan, popularitas, status, penampilan, gaya bicara, bahasa tubuh, kerja keras, pendidikan dan sarana transportasi alias mobil bergengsi nggak mungkin susah cari perempuan yang memiliki kasta tertinggi sekalipun.

Menurut gue sebagai kacamata awam, Rafadhan adalah anugerah Tuhan yang tumpah-tumpah.

"Jika jawabannya iya?" Tanyanya sambil memandang gue dengan wajahnya yang menampilkan ekspresi geli tapi ngetes.

Gue berdeham sejenak, "Berarti kamu budak hegemoni budaya."

Rafadhan langsung tertawa. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Ya fase hidup standar masyarakat lah. Lahir, sekolah, sekolah lagi, sekolah terus, sekolah melulu, kerja, nikah. Itu kan? Karena ibumu berpikir kalau kamu nggak punya hal krusial lainnya untuk dikejar ya makanya memintamu menikah."

Rafadhan menyedekapkan kedua tangannya di atas meja ketika meja kami sudah bersih dari piring kotor dan hanya menyisakan minuman. Dia memesan hidangan penutup. Pandan brules buat dia dan colenak duren buat gue. Sok tahu banget, gue nggak suka duren padahal. Tapi bodo amat. Ada masalah yang lebih penting dibahas. "Tidak salah kan?" Dia bertanya dengan memandang gue intens. Ini orang gantengnya lumayan bikin pusing sih. Apalagi tonjolan urat di lengannya yang kelihatan karena dia pakai kaos polo pendek.

Menolah untuk hilang fokus, gue ikutan menyedekapkan tangan dan menjawab, "Ya, nggak salah."

"Lalu kenapa kamu bilang saya budak?"

"Ya memang begitu kok Marxis menjelaskan. Pandangan sekelompok mayoritas lalu menjadi norma budaya."

"Oke... oke. Anggaplah saya budak. Bukannya kamu juga? Apa yang membuat kamu sepertinya terlalu membenci konsep pernikahan?"

"Saya nggak benci. Kenapa pula disimpulkan begitu?" Gue nyolot.

"Kalau kamu nggak benci kenapa kamu begitu bersikeras menolak saya? Padahal saya belum membuktikan apa-apa."

"Saya nggak benci, tapi bukan berarti saya harus ikut menjalaninya kan? Nggak ada undang... ah lupakan birokrasi. Saya nggak merasa mampu untuk saat ini." Atau merasa perlu, tambah gue dalam hati.

"Saya bingung kamu terlalu rumit. Kenapa kamu begitu rumit dibanding perempuan yang selama ini pernah ada di hidup saya?"

Ya mana gue tahu?!

Gue cuma berakhir diam saja. Bingung juga mau jawab apa.

"Oke, coba bahasanya saya sederhanakan, apa kamu butuh seorang laki-laki untuk melindungi kamu dan menjadi teman berbagimu dalam susah dan senang?"

Kalau itu alasan yang dia punya untuk mengajak gue ke arah serius, maka... "Nggak."

Rafadhan cukup kaget dengan jawaban gue. Tapi gue pilih nyeruput es kelapa jeruk gue.

"Nir, sepertinya ada yang salah dengan diri kamu."

Gue pengen pulang. Bisa nggak sih gue langsung kabur aja?

"Nir, tatap saya."

Males banget gue sumpah. Apaan sih ini?! Akhirnya dengan ogah-ogahan gue menatap dia juga.

"Kalau kamu kasih saya kesempatan, kita bisa cari makna dari semua yang kamu perlukan itu pelan-pelan. Saya akan jadi rekan pencarianmu."

Kendati sudah malas dengan semua ini, gue akhirnya menyuarakan rasa penasaran gue, "Apa yang kamu ekspektasikan dari orang macam saya sehingga kamu nekat banget buat ngebahas beginian?"

Gue nggak tahu pembahasan gue dengan Rafadhan ini apa gunanya. Hal-hal yang dikatakan dia tadi melebihi kepenasaran jiwa narsistik gue mengenai hal apa yang dia lihat dari gue sampai dia bisa-bisanya seserius ini.

Finders Keepers, Loosers WeepersOnde histórias criam vida. Descubra agora