"Kalau aku tidak peduli, aku sudah pergi dari rumah ini."

"Bangsat! Jadi kau ingin pergi selama ini ?" suara bu Warsih berteriak

"Daritadi aku diam saja saat kau maki, aku ini benar-benar tidak punya harga diri"

Tidak begitu lama terdengar suara pintu yang dibanting. Lalu disusul teriakan bu Warsih. Kamu merasa bingung, apa yang harus dilakukan tapi Sari sudah pergi lebih dulu mungkin dia merasa khawatir dengan yang terjadi didalam rumah.

Begitu Kamu menyusul Sari masuk kedalam rumah, tampak anak-anak bu warsih sedang duduk diruang tengah sambil menangis, kecuali anak yang paling kecil yang sedang digendong dan ditenangkan oleh anak yang paling besar. Sari segera mengambil bayi yang sedang menangis dari kasur kemudian dibawa ke teras depan dan menimang-nimangnya agar berhenti menangis. Sedangkan bu Warsih tampak sedang menangis tersedu-sedu sambil memeluk lutut.

Kamu untuk beberapa menit berdiri memaku didepan pintu, bingung yang apa yang harus kamu lakukan. Merasa kikuk ditengah situasi setelah terjadi pertengkaran keluarga. Untungnya suami bu Warsih sudah pergi. Rupanya suara tadi berasal dari pintu belakang yang dibanting.

Sari menepuk pundak kamu, memberi isyarat agar membantu untuk menangani ketiga anak yang masih menangis. Tapi kamu bingung harus melakukan apa untuk menghentikan tangisannya, sampai akhirnya kamu punya ide untuk mengajak mereka pergi ke warung. Mengorbankan sedikit uang saku untuk pergi dari suasana canggung ini lebih baik daripada tidak tahu apa yang harus diperbuat, pikir Kamu.

Seingat Kamu, dirumah tidak pernah Bapak dan ibunya dulu bertengkar sehebat ini. Sering bertengkar namun biasanya tidak berlangsung lama, itupun hanya perdebatan kecil yang biasanya diakhiri dengan saling sindir dan bukan saling bentak. Penyebabnya hampir sama, biasanya faktor ekonomi.

Kamu bisa mengerti bagaimana sulit dan tertekannya suami bu Warsih dengan penghasilan pas-pasan harus menghidupi anggota keluarganya yang tidak sedikit. Tapi Kamu juga mengerti kondisi bu Warsih yang paska melahirkan mungkin butuh perhatian lebih, mungkin bukan perhatian seperti membelikan barang, tapi hal-hal kecil yang bisa ditunjukan untuk bayinya.

Untunglah ketiga anak bu Warsih kali ini bisa diajak kerjasama, mereka menuruti semua perkataan kamu saat diajak keluar rumah. mungkin mereka mengerti dengan kondisi rumah yang sedang tidak kondusif.

Letak warung cukup jauh dari rumah bu Warsih. Sepanjang jalan kamu hanya khawatir ketika harus bertemu orang, takut mereka bertanya melihat ketiga anak bu Warsih bermata sembab dengan wajah kemerahan. Kamu bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawabnya.

Kamu berhasil menenangkan ketika anak bu Warsih, membelikan mereka beberapa makanan ringan dan minuman. Mereka tampak senang, mungkin jarang sekali mereka bisa mengambil makanan sesuka hati mereka saat berbelanja diwarung. Wajah ceria dan polos kembali lagi tanpa harus menunggu waktu lama. Anak kecil sangat gampang melupakan kejadian tidak mengenakan dan mungkin mudah juga memaafkan ibunya sekalipun dia diteriaki setiap hari. Andai saja aku bisa seperti anak kecil itu, pikir Kamu.

.....................................................................

Ketika kamu kembali ke rumah bu Warsih, sepulang dari warung, dari kejauhan tampak ada beberapa warga yang berkerumun. Semakin kamu mendekat, semakin jelas terdengar suara histeris seorang perempuan. Dari kerumunan itu keluar Sari berlari menuju kearahmu.

"Ada apa ?"

"Gawat, kita harus panggil bu bidan. aku pergi dulu, kamu jaga anak-anak jangan sampai mendekati rumah. ajak mereka main."

"Apa maksudmu ? dimana bayinya ?"

"Bu Warsih sedang mengamuk. Bayinya sudah aku titipkan dirumah tetangganya dan juga kedua anaknya."

"Mengamuk ?"

Belum sempat kamu menerima jawaban dari Sari. Seorang lelaki yang mengendarai motor Rx king datang dari arah jalan. Sari langsung menghampiri dan naik. Kamu masih berdiri dan mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi.

Ketiga anak bu warsih yang berdiri bersama Kamu sedang asik menikmati jajanannya. Sampai akhirnya seorang perempuan datang dan mengajak mereka kerumahnya. Kamu tidak tahu siapa perempuan itu, mungkin saudaranya atau mungkin teman ibunya. Perempuan itu juga mengajak Kamu untuk ikut bersamanya, namun Kamu menolak dengan alasan akan menunggu bidan Yuyun padahal Kamu cuma penasaran ingin melihat apa yang terjadi didalam rumah.

Begitu berjalan kedepan rumah Kamu melihat orang-orang yang berada disana dengan muka panik dan ketakutan. Kamu masuk diantara kerumunan itu, lalu melihat dari jendela kaca, bu Warsih sedang memegang pisau yang ia tempelkan pada lehernya. Dua orang pria dewasa sedang berdiri didepannya, mencoba membujuk untuk menyerahkan pisau tersebut.

"Untung aja tadi bayinya selamat yah, hampir saja. siapa tadi yang menyelamatkan bayinya bu ?" celetuk salah satu warga.

"Itu mahasiwa yang tinggal sama bu bidan itu bu."

Wajah Kamu berkeringat. Jantung kamu berdetak lebih kencang, saat melihat darah mengucur dari leher bu Warsih. Pisaunya terlalu dekat pada kulit, mungkin saat bu Warsih berteriak histeris sepertinya tergores hingga mengakibatkan sayatan kecil. Terakhir kali kamu melihat darah secara langsung dan adegan mengerikan seperti ini, saat melihat mayat bapakya.

Hari itu ketika kamu baru pulang sekolah, Kamu mendapati rumah sudah ramai. Kamu semakin panik ketika mendengar suara tangis ibunya dari dalam begitu kencang. Saat memasuki teras rumah, Kamu melihat banyak bercak darah. Hari itu menjadi kenangan terburuk sekaligus kenangan terakhir Kamu melihat bapaknya dalam kondisi yang mengenaskan.

Tubuh Kamu mengeluarkan keringat dingin, lututnya terasa lemas sehingga membuatnya jatuh terduduk. Nafasnya terasa sesak, namun Kamu tidak bisa mengalihkan pandangan didalam rumah saat bu Warsih hendak menggorok lehernya dengan pisau dapur.

Ketika bu Warsih hendak menarik tangannya, pria yang sedari tadi membujuk bu Warsih dengan sigap meluncurkan tendangan, telak mengenai bahu. Bu Warsih terlempar kebelakang menabrak dinding bilik rumahnya. Saat tubuhnya terpental ke lantai, warga yang lain tidak membuang kesempatan untuk segera meringkus bu Warsih.

"Kamu tidak apa-apa ?" seorang warga membantu kamu berdiri

"Tidak bu, terima kasih." Kamu mencoba mengatur napas. Menenangkan diri, mencoba menolak bayangan-bayangan saat peristiwa mengerikan dulu didalam kepalanya. Sudah bertahun-tahun dia susah payah menghilangkan trauma itu, tapi hari ini kenangan buruk itu kembali dengan mudahnya.

Bu warsih terus meronta-ronta. Dia berteriak dan memaki, seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Tangannya diikat oleh warga, seorang pria paru baya terlihat melafalkan doa-doa sambil sesekali meniup kepala bu Warsih.

"Astagfiruloh, Si Warsih kesurupan setan apa sampai jadi gila begitu."

"Istigfar Warsih...istigfar,, nyebut, ingat anakmu masih kecil." Kata salah satu perempuan yang mencoba menenangkan bu Warsih dengan mengusap-ngusap ubun-ubunnya sambil disiram air.

Sekitar lima belas menit berlalu, sampai akhirnya bu Warsih mulai diam, mungkin dia kehabisan tenaga untuk melawan dan menggerakan tubuhnya. Suaranya pun sudah terdengar parau tidak sekencang tadi.

Bu Warsih tak lagi meronta-ronta, kini kondisinya sudah sedikit lebih tenang. Teriakannya kini berubah menjadi tangisan. Perempuan yang tadi menyuruh bu Warsih istigfar sekarang tampak sedang membersihkan luka dileher bu Warsih, dia mengelap darah yang keluar dengan kain basah.

Tidak begitu lama bidan Yuyun datang. Dia tampak kaget melihat kondisi bu Warsih yang sudah berantakan. Hal pertama yang ditanyakan bidan Yuyun adalah keberadaan si bayi. Setelah mendapatkan kabar yang menangkan karena telah mengetahui si bayi dalam kondisi aman, bidan Yuyun menyuruh beberapa pria untuk menggendong bu Warsih keatas kasur untuk diobati luka dilehernya.

SARANGKALANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ