PROLOG

15 0 0
                                    

Fiksi Fahrezki

Registrasi. Untuk pertama kalinya aku mengurus masalah pendaftaran pendidikan sendirian. Iya, karena sejak awal Ayah tidak setuju dengan perguruan tinggi dan jurusan yang kupilih. Padahal Bunda sudah mengizinkan meski dengan berat hati juga, mengingat dulu sewaktu SD aku mudah sekali terserang sakit. Padahal sewaktu masuk SMP, aku sudah tidak rentan sakit.

Meskipun begitu, Bunda tetap tidak tinggal diam demi kebaikan anaknya. Tak terhitung berapa banyak bujuk rayu yang dilakukan Bunda untuk mengubah keputusan Ayah. Namun, bukan Ayah namanya kalau tidak kukuh pada pendirian. Sekarang, aku duduk di ruang tunggu bersama calon mahasiswa yang lain. Mayoritas dari mereka didampingi orangtua, sementara aku... sendirian. Dan sepatutnya aku bersyukur karena Ayah akhirnya memberi lampu hijau untukku berkuliah di Surabaya dengan syarat, tidak akan terlibat dengan urusan pendidikanku, kecuali wisuda dan urusan pembayaran—sebab aku tidak diperbolehkan bekerja. Kalau sampai aku bekerja tanpa sepengetahuannya, apalagi di luar kantornya nanti, aku akan dicoret dari KK.

Sedari tadi tatapan para cewek dan ibu-ibu mengarah kepadaku seolah kemeja merah marun dan celana panjang hitam yang kupakai itu keliru. Atau mereka tertarik dengan gaya rambutku yang cepak belah kiri? Mereka menatapku dengan mata berbinar-binar seperti melihat harta karun. Juga sempat kudengar bisik-bisik bahkan obrolan—sambil melayangkan pandangan—berupa kata sifat: ganteng, manis, imut, keren, harum-lah, dan sebagainya. Mungkin bukan aku yang dimaksud. Ya, tentu saja bukan. Tetapi begitu aku menoleh ke sekitar, kok di deretan sini hanya aku cowoknya.

"Novelia Iradintya."

"Fiksi Fahrezki."

Aku menoleh dan mencari sumber suara. Akhirnya nomor antreanku—190—dipanggil juga. Aku beranjak. Tepat mengekori seorang cewek berambut hitam legam, panjang—sepertinya sesiku—dengan kepangan yang menyerupai bando di kepalanya. Entah mengapa jantungku berdegup agak cepat. Wangi parfum cewek ini segar sekali. Tubuhnya langsing. Dia berkemeja toska dengan bawahan celana jin hitam yang menempel bagai kulit kedua. Kuperhatikan lagi, dia mengenakan flat shoes warna kopi susu.

"Mas Fiksi Fahrezki, sebelah sini."

Kudengar panggilan yang mengalihkan atensiku. Aku menoleh dan melihat seorang perempuan melambai di balik meja administrasi. Sempat kudengar juga orang-orang terkikik atas ketidakfokusanku. Demi menutupi rasa malu, aku pun bergegas menghampiri.

"Mbak Novelia Iradintya, ya?"

Aku menoleh begitu mendengar nama yang indah. Agak terkejut begitu mendapati cewek yang sama dengan yang mencuri atensiku tadi. Dia berdiri bersebelahan dengan seorang perempuan berambut sebahu dan bergelombang. Perempuan itu berdiri agak belakang. Ketika dua orang itu kuperhatikan, perempuan yang kuanggap mamanya pun menoleh.

"Mas Fiksi, foto empat kali enam sebanyak enam lembarnya mana?"

Aku kembali fokus begitu merasakan tepukan di punggung tangan. Petugas administrasi baru saja menanyakan sesuatu ternyata.

Dengan agak grogi aku menjawab, "Oh, belum ada di situ, Mbak?"

"Belum," jawab perempuan itu dengan lembut. Aku mengangguk lalu merogoh tas sambil berharap, supaya foto yang terselip itu bisa kutemukan. Dapat. Kuserahkan pada petugas. Lalu kembali melihat cewek di sebelahku.

"Mas Fiksi, fotokopi ijazah yang dilegalisir sebanyak empat lembar mana, ya?"

"Mbak Novel masuk prodi Akuntansi, ya. Untuk pengumuman lanjutan sudah diselipkan dalam tas berisi jas almamater, topi, kaos, dan blocknote untuk OSPEK, ya. Terima kasih sudah melakukan registrasi."

"Oh, ya, kenapa, Mbak?" Lagi-lagi aku tidak menyimak obrolan karena sibuk mengamati orang di dekatku.

"Fotokopi ijazah yang dilegalisir sebanyak empat lembar mana, ya?"

Aku balas bertanya, "Belum ada juga?"

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum.

Lagi, aku merogoh tas untuk menemukan map yang semoga tidak tertinggal. Aku pun melongok dan untunglah ada. Aku tidak bisa membayangkan kalau tertinggal.

"Legalisir ijazah, ya?" tanyaku sambil memakai tas di depan dada. Lalu mencari kertas yang dimaksud.

"Iya, Mas Ganteng... eh, Mas Fiksi maksudnya."

Kujawab dengan resah, "Wah, nggak ada, Mbak."

"Syarat registrasi harus lengkap, Mas. Seperti Mbak itu sudah lengkap, jadi dapat tas yang isinya perlengkapan untuk OSPEK," ujar petugas yang menangani berkasku.

"Novel, cowok itu namanya Fiksi kayak nama teman kamu dulu, ya, waktu di Malang," ucap perempuan yang kudengar suaranya khas ibu-ibu. "Kayaknya itu teman kamu waktu kecil deh."

Aku menoleh ketika cewek itu menggelandang mamanya menjauh.

"Aduh, Ma, apaan sih. Ayo, udah selesai ini. Yang namanya Fiksi itu banyak, Ma, plis."

J


Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus

Pelabuhan RapuhWhere stories live. Discover now