Bab I - Jaman Now

29 0 0
                                    

Tumpukan kertas di atas meja Sekar seakan tidak berkurang sejak tadi pagi, padahal hari sudah menjelang siang. Kode-kode barang impor yang berjumlah ratusan membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Matanya seperti ingin lepas dari tempatnya dan jalan-jalan ke mall. Sesekali Sekar mengedipkan matanya berusaha untuk lebih konsentrasi melihat pekerjaannya.

Sekar belum terbiasa dengan kode-kode, nama barang dan angka-angka dalam lembar kertas itu. Matanya sebentar melirik antara lembaran kertas dan komputer. Berusaha untuk seteliti mungkin agar tidak terkena damprat atasannya, Bu Vivian.

'Konsentrasi...!' bisik Sekar dalam hati. Sekar dengan serius memeriksa deretan angka dan tulisan di tangannya.

Suasana hening di ruangan, membantu Sekar mengurangi lembaran tumpukan kertas. Hanya suara detak jam dan suara keyboard komputer yang terdengar di ruangan itu. Bahkan, suara dering telepon pun dibuat kecil agar tidak mengganggu konsentrasi karyawan lain di ruangan itu.

Satu-satunya sumber suara berisik dan mengganggu, berasal dari ocehan dan omelan Bu Vivian. Apalah daya, karyawan di ruangan itu harus mengabaikan kebisingan karya Bu Vivian. Tetap fokus pada pekerjaan di hadapan mereka, satu-satunya pilihan untuk terhindari dari rentetan kata Bu Vivian.

"Sekar, sini." Panggil Bu Vivian dingin.

Jantung Sekar seperti berhenti sesaat mendengar namanya dipanggilan oleh Bu Vivian. Sekar segera beranjak dari meja kerjanya. Dari nada suara Bu Vivian, Sekar tahu akan segera menerima omelan.

"Coba lihat ini, ini, ini. Semua masih salah." Bu Vivian menunjukkan beberapa kesalahan pada pekerjaan Sekar dengan suara tinggi.

Sekar memandangi beberapa kertas yang dicoret-coret oleh Bu Vivian. Dari wajah Bu Vivian terlihat jelas ketidakpuasan atas pekerjaan Sekar.

"Ini sudah empat kali kamu harus revisi. Saya nggak mau ada yang ke lima kali. Lain kali periksa pekerjaan kamu! Dua kali, tiga kali cek juga boleh! Lebih teliti lagi donk, Sekar! " omel Bu Vivian sambil menunjuk-nunjuk kertas.

"Kerjaan saya bukan cuma ngurusin pekerjaan kamu !"

Walau mendengar ocehan Bu Vivian, karyawan lain di ruangan itu pura-pura tuli, buta dan bisu. Mereka tahu, suatu saat mereka akan dapat giliran juga.

"Lihat disana, itu semua pekerjaan saya juga." Bu Vivian menunjuk bertumpuk-tumpuk kertas di mejanya yang lain.

" Ambil ini !"

" Iya bu." Sekar mengambil kertas di atas meja Bu Vivian dengan sedikit gugup.

"Kamu ini buang-buang waktu saya. Cepat perbaiki sekarang !" Bu Vivian mengakhiri omelannya.

Sekar kembali ke mejanya. Sekali lagi Sekar memeriksa kesalahan pekerjaannya. Kali ini dia berjanji dalam hati untuk tidak melakukan kesalah. Dia tidak mau menerima kata-kata tajam dari Bu Vivian.

Pintu transparan disamping Sekar terbuka. Lelaki tampan berkacamata yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Sekar, melangkah masuk. Kemeja merah marun, berpadu dengan kulit bersihnya. Senyum ramah mengembang dari wajah lelaki itu. Lelaki itu, Pak Calvin namanya, pemilik perusahaan.

Saat Pak Calvin masuk ruangan itu, suasana tegang berangsur-angsur menghilang. Aroma wangi parfum menghampiri hidung Sekar. Sekar tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Pak Calvin.

" Selamat siang, semua. Ini ada Martabak Markobar." Pak Calvin meletakkan dua bungkus martabak di atas meja kosong yang biasa digunakan untuk makan bersama.

Walaupun Pak Calvin hemat dalam berkata-kata, namun senyumnya selalu bisa membuat hati siapa pun menjadi hangat.

"Terima kasih, Pak." penuh semangat karyawan di ruangan itu mengucapkan rasa terima kasih.

Donny, dari meja sebelah Sekar, melangkah maju mendekati Martabak Makobar.

"Hey...,stop ! Makannya setelah pekerjaan beres ya..." celetuk Bu Vivian dari meja tengah.

Mendengar celetukan dari Bu Vivian, Donny mengurungkan niatnya dan kembali ke mejanya. Dia tidak mau mendapatkan kata-kata pahit panjang lebar dari Bu Vivian.

Pak Calvin tersenyum tipis melihat kelakuaan Donny, kakinya melangkah masuk menujuh ruangan pribadinya.

'Ah..., Pak Calvin baik sekali.' Batin Sekar, sambil memandangi ruangan Pak Calvin yang tertutup. Sekar tersenyum kecil dengan wajah memerah. Sekar tidak sadar, tingkah laku ganjilnya sedari tadi mengundang perhatian Bu Vivian.

"Sekar, pekerjaan kamu sudah selesai?" Bu Vivian menatap tajam pada Sekar.

Sekar segera sadar, senyam-senyum anehnya terpegok atasannya.

"Kalau kamu kebanyakan senyum kaya gitu, pekerjaanmu kapan selesainya? " Ucap Bu Vivian sinis

"Ini saya kerjakan sekarang, Bu" Sekar bergegas mengalihakan pandangannya pada pekerjaannya yang sempat tertunda.

"Kalau pekerjaan kamu sudah beres, silahkan saja kamu tatap pintu itu sampai mata kamu lepas." kata Bu Vivian ketus sambil memperbaiki letak kacamatanya.

Ruangan kembali hening. Suasana ceria yang dibawa Pak Calvin, lenyap berganti dengan rasa ketegangan dari Bu Vivian.

'Kenapa dia selalu merusak suasana?' Pikir Sekal kesal, kembali bekerja.

---

Jam menunjukan pukul 12 siang lebih dua puluh menit, saat makanan pesanan Sekar dan teman-teman seperjuangan di kantor datang. Donny disamping Sekar beranjak memdekati bungkusan makanan. Sekar masih sibuk dengan pekerjaannya, tak sadar bahwa makanan pesanannya sudah datang.

Selain bungksan makanan pesanan, ada juga Martabak Markobar yang tadi dibawah oleh Pak Calvin. Donny dengan semangat membuka bungkusan makanan itu. Tangannya mencomot sebuah martabak manis. Digigitan pertama, dia teringat pada Sekar di mejanya.

"Hei..., ayo sini!" panggil Donny.

"Ya... sebentar" Sekar merapikan beberapa lembar kertas berantakan di atas mejanya. Setelah terlihat sedikit rapi, Sekar bergegas melampiaskan kekesalannya pada makananya.

"Bu Vivian bawel sekali sih..." keluh Sekar berbisik pada Donny. Sebelumnya dia sudah menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada Bu Vivian di sekitar mereka.

"Dia memang bawel, tapi di kantor lain lebih parah atasannya" Donny seakan membela Bu Vivian

" Ow ya?"

" Ya..., kalo di kantor lain. Sampai dicaci maki. Keluar kata hewan juga, loh...!"

" Wah... parah juga ya..." Sekar menatap serius Donny tak percaya.

" Banyak kok, tempat kerja yang atasannya kaya gitu..." Lastri dari devisi lain menimpali. "Dia memang cerewet dan doyan ngomel. Sekalipun kesal dia nggak akan pakai kata-kata yang keterlaluan."

"Kamu bari kerja di tempat ini aja?" tanya Donny pada Sekar.

Sekar mengangguk. Memang ini tempat pertamanya bekerja, setelah beberapa bulan lulus kuliah dan menjadi pengangguran.

"Betah-betahin di sini. Sekalipun ini bukan perusahaan besar, kita digaji cukup dan diperlakukan dengan baik. Syukuri ajalah...!" ucap Donny dan disetujui oleh Lastri.

"Satu lagi, Pak Calvin orangnya juga baik. Dia jarang marah." Lestari menambahkan.

"Ya, karena sudah diwakili Bu Vivian" Sekar menimpali temannya.

"Bisa jadi. Dia kalau marah diam aja. Cuma mukanya aja yang masam. Satu lagi, dia masih jomblo" Lanjut Lestari bersemangat.

" Ya, jomblo. Tapi belum tentu mau sama you berdua" Ejek Donny sambil tersenyum konyol.

" Siapa tahu nasib baik, Don" Lestari menjawab dengan percaya diri.

" Ah, betul..." Kali ini Sekar setuju dengan Lestari

Mereka bertiga mendengar suara kaki mendekat. Segera mereka saling pandang, mulut segera mereka kunci rapat. Kini mulut itu mereka pakai untuk makan dulu. Dari langkah kaki khas, sudah bisa ditebak. Itu Bu Vivian. 

Bosku VampireWhere stories live. Discover now