Mengabaikan perkataannya, Alec meremas payudaranya. Thalia mengerang, namun dengan penuh tekad, ia mengangkat dirinya dari Alec. “Aku.. serius,” ujar Thalia parau.

            Kedua tangan Alec mengepal tak sudi di sisi tubuhnya. Raungan binatang mengaum dari tenggorokannya, kesal. Dan Thalia tidak berhenti menyiksanya. Thalia mengecup perut ratanya sebelum membuka kancing lainnya. Mengecup, membuka, mengecup, lalu membuka. Api bergelora dalam perut Alec saat merasakan puncak payudara Thalia menyapu perutnya seiring kecupan yang wanita itu berikan.

            Ia ingin meremas dan memuja dua gundukan ranum itu. Menjilatnya, menciumnya, makan kue di lembahnya, mendengarkan Thalia mendesah senang—persetan dengan semua ancaman Thalia.

            Alec mendorong Thalia, mengempaskan lekukan punggung indah itu pada kelembutan kasur. Thalia memprotes, “Aku bilang—“

            Bibir Alec membungkam mulut Thalia. Membisukan segala perkataannya dan membuat wanita itu berserah. “Menyentuh atau tidak, aku akan tetap melakukannya,” desis Alec di muka bibirnya.

            Thalia bernapas terengah-engah, hendak berkata, namun dadanya mengembang dan mengempis menyakitkan. Alec menunggunya berbicara, antusias menanti perlawanannya. Tapi, sekali lagi, wanita itu menyerah dalam pelukannya. Thalia melingkarkan tangannya di leher Alec, merasakan denyut nadinya. Merangkul Alec penuh kasih.

            Thalia berbisik, tepat di telinga Alec, “Kalau begitu sentuh aku di sana. Di sana. Di mana bibirmu belum menjamahku. Di sana.” Tangan Thalia membawa tangan Alec ke inti dirinya. Menjentikkan jemarinya pada dirinya sendiri—mengerang oleh sentuhannya.

            Alec mencium dahinya. “Sesuai keinginanmu.”

            Alec mengelus paha Thalia dan membukanya lebar-lebar. Inti Thalia merekah dan merah dan basah. Perlahan, Alec menurunkan kepalanya. Merasakan kulit lembut paha dalam Thalia. Mengecup paha kirinya, lalu kanan. Membawa kedua betisnya ke atas pundak Alec. Alec mendekatkan ciumannya pada diri Thalia. Kian dekat—kian dekat.

            “Alec,” Thalia memperingatkan.

            Tawa kecil lepas dari bibir Alec. Napasnya meniup kulit lembut di pangkal paha Thalia. “Kenapa?”

Thalia mengaitkan jari kakinya dengan jari di kaki sebelahnya. Mengurung Alec dalam lingkaran tungkainya. Segera Alec menyerbu inti Thalia dengan ciuman. Thalia terperanjat, meyerukan nama Alec seiring terjangan gairah yang melandanya. Lidah Alec terjulur untuk merasakan intinya.

Ibu jari Alec menggesek intinya itu sementara bibirnya mulai beralih ke palung basah Thalia. Mencium gerbangnya sebelum menelisikkan lidah ke dalamnya. Bermain di dalam lubang sempit itu, menyapu bukti gairah Thalia. Gairah itu ditelan Alec tepat saat tubuh Thalia menegang dan kedua tungkainya mengimpit kepala Alec di antara pahanya.

Menanggapi reaksinya itu, Alec tak berhenti merasakan Thalia. Mereguk tubuh Thalia yang bagaikan makanan para dewa. Menyentuhnya, membawa Thalia nyaris menuju kenikmatan dan menjatuhkannya kembali kepada bumi. Thalia mengerang frustasi. Alec mampu merasakan tubuh Thalia menggelinjang, menggoyangkan ranjang yang kini terasa begitu sakral.

“AlecAlecAlec!” Thalia menjerit puas.

Alec membuka kancing celananya, membebaskan kejantanannya dari kungkungannya. Angin musim dingin menyapanya meski begitu, ia tidak gelora yang bergumul di tubuhnya tak mampu dikandaskan. Bibirnya terus merangsang Thalia dengan terjangan gairah yang membawa wanita itu ke bibir jurang. Sementara tangannya beralih pada kejantananya, menyelimutinya.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang