Bab 8-3

23.6K 973 14
                                    

Bab 8-3

"Tidak bisakah kau, dengan otakmu, mencegah putri tolol itu menguntitku?" tanya Marilyn sengit, selepas makan malam bersama seorang Seymour.

Pertanyaan ibunya berhasil membuat Alec melengak dari dokumen di atas meja. "Menguntit ibu?"

"Aku tidak pernah tahu aku melahirkan anak tuli yang harus mengulangi apa yang aku katakan," geram Marilyn. "Menguntitku, ya."

Alec tertawa. Suaranya menggelegar, ia bahkan tidak percaya tawanya membahana. "Lucu."

Marilyn mengambil langkah pendeknya begitu cepat. Mendekati Alec, mata hijaunya berkilat penuh ancaman. Tangannya menggebrak meja, kencang. Kuku panjangnya yang dicat merah, menancap ke dalam kayu meja. Alec tidak tahu bagaimana cara ibunya mempertahankan kuku itu meski diperlakukan kasar.

Alec tidak beringsut setitik pun. Ia telah biasa menghadapi kemarahan ibunya. Urat yang menegang dan menonjol di pelipis dan leher ibunya. Mata yang mendelik tidak senang layaknya iblis. Gigi yang mengatup dan mendesiskan hujatan bagi anaknya. Ia telah terbiasa menjumpai ibunya datang dengan langkah berat dan suara keras bantingan pintu.

Sudah terbiasa sejak seminggu terakhir.

Bukan, batin Alec, sejak Thalia mengacaukan pikiranku. Entahlah sejak kapan itu.

Mengacaukan pikirannya yang sedari kecil telah diajarkan untuk melakukan segala hal terorganisir. Melakukan sesuatu secara teratur demi memberantas Seymour. Merencanakan segalanya terperinci dengan satu tujuan; menumbangkan rezim Seymour. Itu telah mengakar dan mengalir selayaknya darah di dalam pembuluhnya. Tapi, entah mengapa, seorang Seymour, yang bahkan sebelum kemarin tidak mendapat sorotan media, menghancurkan segalanya.

Thalia, bahkan kecup manisnya tidak sanggup memuaskan dahaga dalam tubuh Alec. Dahaga akan memiliki dirinya, bukan hanya sebagai alat kemenangan, namun juga sebagai suatu hal lain yang seharusnya tabu ia rasakan. Dahaga itu meninggalkan rasa jijik dalam dirinya. Ia pernah bersumpah untuk tidak sekali pun merajut perasaan khusus terhadap Thalia. Pernah.

Tapi, Thalia, gadis itu, tidak datang layaknya angin musim semi yang membawa kesegaran desa. Gadis itu datang bagai ancaman alam. Dengan kecantikan yang tersembunyi, perangainya yang menantang, geraknya yang kikuk, dan bibir semanis cairan madu dewa. Gadis itu menghancurkan segalanya. Sumpahnya begitu pula tujuannya. Terlebih, ada dua perasaan yang saling menghancurkan dalam dirinya; ketertarikan dan keinginan untuk berjaya. Alec tidak tahu menahu siapa dari antara keduanya yang kelak mendominasi. Terkadang, Alec ambisi menghancurkan ketertarikannya. Tak jarang pula ketertarikan menghancurkan ambisi.

Selamat, Alec baru saja mempelajari bahwa ketertarikan dapat bersifat menghancurkan.

"Apa yang kaupikirkan, Romulus Alec Zachary?" suara ibunya dipenuhi sinisme berkecukupan mengunci suara-suara dalam pikiran Alec.

Alec tersenyum. Senyum miring yang menggoda bagi para wanita sekaligus meremehkan teruntuk pria. Alec tidak pernah bermain-main dengan ibunya. Dan untuk kali pertamanya menyunggingkan senyum itu kepada ibunya, ia tahu ibunya tidak senang. Tidak sopan, tatapan tajam mata hijaunya menikam Alec. Alec sesegera melenyapkan senyumnya.

Alec mengambil Auver's, merek alkohol paling terkenal di Wilayah Barat, beserta gelas bening yang memancarkan cahaya magis dari laci bawah meja kerjanya. Tangannya cekatan menuang cairan kuning itu ke dalam gelas.

"Ceritakan semuanya, ibu."

Alec sedang menyesap cairan yang menghangatkan kerongkongannya ketika ibunya membuka mulut. "Ia mengikutiku. Kurasa tiga puluh menit setelah aku meninggalkan ruang makan, aku mendengar langkah kakinya di depan ruang baca. Oh, jangan berikan tatapan itu padaku, Alec, aku bisa dengan mudahnya mengenali orang dari suara kakinya.

UGLY ROYALEWhere stories live. Discover now