Gerbang menuju kesuksesan

19.6K 4K 285
                                    

Rasa malu dan penasaran bercampur begitu Zionino mengetahui aku adalah wanita yang gagal dalam pernikahan. Diingatkan akan kegagalan tersebut jelas membuatku langsung terdiam.

"Kantor menjadi tempat bergosip, kamu tahu 'kan?"ucap Zionino.

Ah, ya... kantor. Dia pasti tau semua dari sana. Sarangnya para pemilik lidah lentur.

Aku membuang wajah ke arah lain, enggak sanggup rasanya beradu mata dengan Nino. Malu.

Detik ini kuputuskan untuk menghapus niat menggoda pak Bos yang kini sudah menjadi mantan. Kalau di lanjutkan, hanya membuat malu diriku saja. Masalah utang itu mungkin aku bisa menyelesaikan dengan jalan lain, menjual kornea mata mungkin.

"Namanya hidup butuh biaya, saya emang punya utang, tapi masalahmya bukan cuma buat bayar utang, saya dan ibu saya juga butuh makan, jadi jangan sangkut pautkan dengan hutang pernikahan gagal saya," ucapku dengan tenang, perlahan aku berdiri dari tempatku. Mengemis pada lelaki ini kurasa enggak akan berhasil sebaiknya aku pulang dan menenangkan pikiran yang sudah semrawut ini.

"Saya permisi, maaf atas sikap saya kemarin dan hari ini pada bapak," ucapku lalu mengulurkan tangan ke arah Nino.

"Lima puluh juta bukan jumlah yang sedikit Rifanka, saya harap kamu bisa menemukan pekerjaan baru agar hutang itu lunas dan kehidupan kamu membaik," ucap Zionino sambil meraih jabat tanganku.

Aku mengangguk lemas, berjalan perlahan keluar rumah dengan hati yang terasa hampa.

Pupus sudah harapanku. Hilang sudah angan-anganku.
Hidupku jadi semakin sulit sekarang dan semua gara-gara Tio! Harus aku kejar lelaki itu. Kalau perlu sampai ke kerak bumi.

Tunggu.

Aku terdiam begitu sampai di depan pintu. Menghentikan langkah lalu segera berbalik badan. Ku lihat Nino masih berdiri memandangi kepergianku. Dengan langkah lebar aku menuju ke arahnya.

"Bapak tau darimana jumlah utang saya?" Tanyaku tepat di hadapan Zionino.

Ia tersenyum.

"Karyawan saya yang melaporkannya," ucapnya.

Aku berpikir sejenak. "Mbak Sani?" Tanyaku memastikan. Satu-satunya manusia yang mengetahui besarnya hutang itu adalah mbak Sani dan pihak WO. Dan karyawan Zionino pasti mbak Sani.

"Gaun berwarna peach, dekorasi bernuansa putih dan peach senada dengan gaun lalu..."

"Bapak pemilik WO itu?" Tanyaku. Wajah tercengang tak percayaku pasti sangat tidak sedap di pandang saat ini. Kenapa oh kenapa rasanya aku seperti kena zonk berkali-kali.

"Karyawan saya masih menagih lewat pesan ke kamu, Rifanka?" Tanyanya usai memberikan senyuman manisnya.

Rifanka?

Aku memejamkan mata, suaranya mengingatkanku pada caranya menyebutkan namaku saat awal pertemuan kami. Sepertinya ia sudah tau sejak awal kalau aku adalah mantan klien WO-nya yang gagal melangsungkan acara.

💔

"Serius? Dia yang punya?"

Nada suaranya tak percaya begitu aku memberitahukan berita yang sama mengejutkanku.

"Iya, Mbak,"sahutku.

"Kalau kayak gitu duitnya banyak banget dong Rif, enggak berseri kayaknya."

"Iya kali," kataku.

"Lo lemas banget sih Rif? Aduh yang bentar dong."

Keningku berkerut mendengar suara mbak Sani di seberang telepon sana apalagi disusul suara krasak krusuk.

"Iya udah tapi pelan-pe ahh ih yang kok nakal sih ahh."

"Ya elah mbak, lo enggak sekalian live streaming, biar gue liat? Lanjutin dulu deh, jangan sampai anunya si yayang mengkerut duluan," ucapku. Tanpa menunggu sahutan mbak Sani aku segera memutuskan sambungan telepon.

Tubuhku yang lelah sudah mendapatkan tempat nyamannya. Diatas ranjang empuk berselimutkan tebal mataku menerawang, kejadian pagi tadi terbayang kembali di benakku.

"Saya bisa bantu kamu untuk bayar hutang-hutang tersebut, tapi bukan dengan menerima kamu kembali di pabrik, sikap kamu jelas menjatuhkan saya di hadapan karyawan lain. Saya enggak bisa mempertahankan kamu disana, selain itu kamu juga akan menjadi bahan gunjingan karyawati, status gagal menikah dari mereka sudah memberatkan kamu 'kan? Kalau di tambah berita kamu melabrak bos sendiri cap sebagai perempuan gila akan tersemat berdampingan dengan julukan perempuan malang yang sudah terselip di ujung nama kamu."

"Kenapa dia tahu semuanya sih?" Gumamku.

"Saya bantu kamu bukan karena maksud tertentu. Saya hanya enggak bisa merelakan uang 50 juta tersebut, ada hak-hak karyawan saya yang sudah mengurus acara kamu waktu itu, saya harap kamu mengerti Rifanka."

"Dia benar sih, tapi kenapa dia baik banget ya, beneran baik apa pura-pura ya itu orang?"

"Saya enggak mau kamu kabur tanpa membayar biaya pernikahan tersebut."

Tarikan napas panjangku mungkin terkesan putus asa bagu yang mendengarnya. Nyatanya, memang itu yang terjadi. Di tawari pekerjaan oleh orang yang aku hutangi. Kok lucu sekali hidupku ini.

"Rifa," panggilan dari balik pintu kamarku membuatku berhenti memikirkan kekacauan ini.

"Iya bu," sahutku.

Pintu terbuka perlahan-lahan, ibu yang membawa gelas besar masuk ke dalam kamarku. "Udah mau tidur?" Tanyanya lalu duduk di sisi ranjangku.

Aku menganguk. "Tapi enggak bisa, kenapa bu?" Tanyaku.

"Mau ngobrol aja sama kamu," jawab beliau.

Aku mengambil gelas di tangan ibu, susu coklat hangat yang masih mengepulkan uap itu ku seruput perlahan. Hangat langsung memenuhi dada lalu perutku.

"Bulik Rini tadi kesini," kata ibu.

"Iya, lalu?"

"Mayang mau menikah, minggu depan" jawab ibu.

"Oh," sahutku singkat.

Mayang itu sepupuku yang tinggal di kota lain. Dari dulu kami enggak akur, apalagi waktu kejadian tragis di hidupku terjadi, sebagai saudara bukannya prihatin ia malah menyunggingkan tawa secara sembunyi-sembunyi namun tak luput dari penglihatanku. Senyum mengejeknya jelas masih kuingat.

"Kita datang ya Rif, ibu juga harus bantuin bulik mu," ucap ibu

"Rifa 'kan kerja bu," ucapku bohong

"Cuti aja bisa 'kan?" Bujuk ibu.

"Enggak bisa bu, Rifa ditugasin ke luar kota," jawabku. Semakin lama kebohongan semakin menggunung.

Desahan kecewa terdengar. Aku enggak enak hati melihat ibu saat ini. Tapi aku juga enggak mau mengorbankan hati dengan melihat pernikahan orang yang mengolokku saat aku terpuruk dulu.

"Ibu aja yang berangkat duluan, nanti Rifa coba ijin pas hari H," ucapku.

"Benar ya?" Tanya ibu memastikan.

"Kalau di kasih ijin ya bu," sahutku.

"Ya udah, ibu doain kamu di kasih ijin," kata ibu, beliau bangkit lalu berjalan meninggalkan kamarku.

Aku tersenyum masam menatap kepergian ibu. "Maaf ya bu, Rifa bohong," gumamku begitu pintu tertutup seluruhnya.

Sepertinya aku sudah punya jawaban atas pertanyaan Zionino pagi tadi. Yang kuperlukan mungkin krim penebal muka, kalau ada akan aku beli dan kuoleskan tiap bersama Nino nanti.

"Halo," sapaku setelah sambungan telepon yang baru kulakukan tersambung.

"Tawaran bapak pagi tadi masih berlaku?" Tanyaku.

"Saya siap untuk nganterin bapak kemana aja," jawabku dengan penuh keyakinan.

💔

SELAMAT TANGGAL MERAH DARI AKU YANG GAK PUNYA TANGGAL MERAH DI KALENDER!!! 😭😭😭😭

Flirting with the Boss Where stories live. Discover now