Bagaimana aku harus menjelaskan pada ibu, aku tulang punggungnya. Mencari pekerjaan enggak semudah mencongkel kotoran hidung. Kadang beberapa tempat malah meminta uang pada pencari kerja kalau mau di terima di tempat tersebut.

Semua memang salahku, cara berpikirku yang pendek, terlalu menggebu-gebu tanpa alasan yang mendarah daging akhurnya menghancurkan diriku sendiri.

Ibu, Rifa mesti gimana?

"Bangun Rifanka." Sentuhan lembut di lenganku membuatku menoleh. Zionino, ia membantu berdiri. "Kenapa kamu harus nangis di rumah saya?"ucapnya. Ia lalu berjalan ke meja makan dan mengambil selembar tissue kemudian menyerahkan padaku.

Jangan bertanya bagaimana perasaanku saat ini. Aku akan langsung jelaskan!
Dia manis! Perilakunya benar-benar bikin aku diabetes! Hal kecil yang terlihat sepele ini benar-benar membuatku terkesima.

Helaan napas Zionino membuatku kembali ke dunia yang fana ini. Aku segera mengusap lelehan airmata yang tersisa di pipi. "Maaf, Pak," ucapku.

"Mbak, tolong buatkan teh hangat," ucap Zionino, dari arah dapur terdengar seorang menyahutinya. "Saya masih punya waktu sepuluh menit, kamu tenangkan diri kamu dulu," ucapnya lalu berjalan menuju ruang tengah.

Aku mengikuti langkahnya. Ia lalu duduk di salah satu sofa, aku ikut duduk di seberangnya.
"Maaf atas sikap saya kemarin, Pak," ucapku.

"Iya," ucap lelaki di hadapanku itu. Singkat sekali sampai aku mengangkat wajah untuk melihat ekspresinya.

"Kemarin saya bereaksi terlalu berlebihan, tapi niat saya benar-benar untuk meminta pertanggung jawaban bapak atas mbak Bila,"ucapku. "Tapi cara saya salah," lanjutku.

"Dan tuduhan kamu pun jelas salah," sambungnya.

"Maaf  Pak," ucapku. Walaupun aku juga enggak yakin sama perkataannya tapi aku enggak bisa main teriak menuduhnya lagi. Kemarin aku di pecat, sekarang bisa aja aku di gorok olehnya.

"Kamu enggak percaya?" Tanyanya.

"Iya, eh." Mati, keceplosan kan!

Zionino membuang napas kembali, sedangkan aku mencubiti paha sebagai hukuman pada diri sendiri.

Perempuan bernama mbak Ning tiba-tiba saja datang membawa nampan berisi segelas teh hangat. Wajahnya agak kaget melihatku, mungkin dipikirnya aku sudah pergi tapi ternyata masih di rumah ini, menangis pula.

"Mbak mau minum apa?" Tanya mbak Ning.

"Enggak usah mbak," ucap Zionino, mbak Ning mengamgguk dan segera pergi.

Tega! Masa aku enggak di kasih minum sama sekali.

"Itu hak kamu mau percaya pada ucapan saya atau enggak, yang jelas saya sudah menjelaskan," ucapnya. Ia lalu mendorong cangkir di hadapannya ke arahku.

"Diminum dulu tehnya Rifa,"ucapnya.

Ya Tuhan, dia baik sekali.

Aku mengangkat cangkir teh, meneguk cairan beraroma melati tersebut.

"Untuk pekerjaan kamu, saya sudah bilang pada HRD jadi pemecatan kamu enggak  bisa saya cabut, saya juga enggak bisa begitu saja nerima kamu untuk gantiin posisi Sabila, pekerjaan kamu bagus tapi sikap kamu kurang," lanjutnya setelah aku meletakkan cangkir kembali ke atas meja.

"Iya saya mengerti, Pak, tapi saya mohon pak, kasih saya kesempatan, saya butuh sekali kerjaan," pintaku kembali. Dan butuh dekat sama bapak.

"Untuk bayar hutang pernikahan kamu yang gagal?"

Aku mendongak, kaget.

Dia tahu?

💔

Nah lo, nah lo, bapak tau darimana bapak si rifa batal kawin 😄😄😄

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Flirting with the Boss Where stories live. Discover now