1. Selebgram

65 5 4
                                    

"Buruan kenapa Nan, lama banget nggak mulai-mulai?!" seru Fifi mengganggu konsentrasiku.

Aku menjawab tanpa mengangkat pandangan dari handphone di tanganku. "Yaudah sih, gue ini yang makan? Lo jangan berisik dong, kedengaran nih di insta-story gue." Aku menghapus rekaman video yang terganggu oleh suara Fifi dan mengulang lagi.

"Iya, pelan-pelan ngomongnya, bikin malu aja." Putra menimpali sambil tertawa.

"Gordes banget lo."

"Gue mau minta makanan lo Nan, tadi kan gue mau pesan itu juga lo bilang jangan, biar beda, biar bisa nyicipin, gimana sih?" Fifi masih sewot, tetapi kali ini dengan volume suara yang jauh lebih pelan dari sebelumnya. "Lo lagi, nggak usah ikut-ikutan," tambahnya pada Putra.

Aku dan Putra sama-sama nyengir melihat Fifi yang emosi. Gini aja ngambek.

"Hehe iya, maaf maaf, bentar lagi ya," jawabku sambil memilih gif dan menambahkan tag lokasi tempat kami makan. "Nah udah nih, sudah upload." Aku tersenyum puas, meletakkan handphone di atas meja dan mulai makan.

Siang ini, aku sedang makan di luar bersama Fifi dan Putra, dua teman sekantorku. Di sela-sela kesibukan pekerjaan kami minggu ini, aku berhasil membujuk mereka untuk makan di café yang sudah lama ingin kucoba ini. Review-nya hampir selalu positif tetapi lokasinya cukup jauh dari kantor sehingga kami harus naik taksi online—Putra menolak membawa mobilnya yang sudah terparkir manis di basement gedung, katanya malas harus cari parkir lagi. 

Tapi yang paling penting, tempatnya juga sangat instagrammable.

"Ribet ya jadi selebgram," komentar Fifi sambil menyendok mashed potato dan chicken steak dari piringku.

Aku hanya mengangkat bahu. Fifi dan aku memang baru saling kenal satu tahun belakangan sejak aku masuk perusahaan pertengahan tahun lalu, tetapi selama ini kami selalu bekerja bersama. Kami ditempatkan di seksi yang sama, kebetulan sebaya, dan kubikel kami bersebelahan. Apalagi aku masuk kerja saat Fifi masih dalam masa probation, jadi mau tidak mau kami dekat dan Fifi sudah hafal dengan rutinitasku yang bukan hanya sebagai karyawan kantoran, tetapi juga merangkap social media influencer.

Bukan bermaksud kepedean, tapi aku memang cukup eksis di dunia maya. It's a fact. Followers-ku mencapai ratusan ribu, jumlah likes banyak, dan tentunya tawaran endorse juga selalu berdatangan. Aku sendiri sebetulnya agak geli melabeli diri sebagai selebgram atau influencer, kesannya gimana gitu ya? Tapi tetap saja, aku sudah kepalang di-follow ribuan orang, jadi punya tanggung jawab untuk rajin update di media sosial.

"Udah seminggu ini gue nggak update apa-apa, nggak ada yang menarik," jelasku pada Fifi.

"Kerja doang ya minggu ini?" timpal Putra.

Aku menggumam mengiyakan, masih asyik mengunyah makananku.

Berbeda dengan aku dan Fifi yang merupakan talent acquisition staff biasa, Putra adalah anak management trainee yang ditempatkan di HR Division. Usianya dua tahun lebih tua dari aku dan Fifi. Sebelum ditempatkan di seksi yang sama dengan kami, ia sudah berpengalaman bekerja di bagian training and development dan industrial relation. Setelah selesai dengan talent acquisition, Putra mungkin akan dirotasi ke bagian lain, atau diangkat menjadi supervisor.

"Berangkat pagi, pulang lembur, makan siang pesan pakai ojek online ke kantor, apa yang mau di-update?"

"Iya sih, gue juga kayanya udah lama banget nggak update insta story, apalagi upload foto di instagram. Belakangan ini kayanya update-an gue isinya Mochi semua deh." Fifi terlihat seperti baru sadar. "Gila ya, hidup gue ga menarik amat?"

"Kasian, kalah sama kucing," selorohku. Mochi adalah kucing persia betina kesayangan Fifi.

Putra terkekeh. "Yaaa sekarang emang akun instagram kucing atau anjing gitu lebih laku sih daripada akun-akun yang isinya foto cewek gitu, gue juga follow bintik sama kucing malas."

"Yakin lo nggak follow akun-akun cewek begitu?" tanya Fifi nyinyir. Putra cengengesan sambil menaikturunkan kedua alisnya. Fix sih, kayaknya dia juga follow akun-akun cewek cantik, tapi nggak mau ngaku.

Fifi pura-pura manyun sebelum lanjut bicara. "Tapi dipikir-pikir dengan kesibukan lo kaya gini, susah ga sih Nan cari konten? Hidup isinya kerja mulu, bosen juga kalau di-update terus, kaya anak fresh graduate baru dapat kerja saja update-nya kerjaan mulu."

Aku terkekeh mengingat kelakuanku saat baru dapat kerja dulu, persis seperti yang Fifi bilang. Instagram story-ku isinya foto di lift, outfit ke kantor, selfie di meja kerja, foto jam saat lembur, kopi di pagi hari, dan sejenisnya. Untung sudah lewat.

"Iya, ini juga gue udah mulai kurangin ambil endorse sih, Fi, nggak ke-handle," lanjutku kembali ke topik pembicaraan. Barang endorse yang biasa kuambil biasanya meliputi pakaian, sepatu, dan aksesoris.

Seperti yang Fifi bilang, menjadi selebgram atau influencer yang juga merangkap sebagai karyawan kantoran memang nggak gampang. Selain harus bisa mengelola waktu dengan baik, aku juga harus pintar-pintar cari konten—atau setidaknya kreatif memanfaatkan rutinitas sehari-hariku sebagai bahan untuk di-upload. Kadang sih masalahnya bukan tidak ada waktu, tapi lebih tepatnya kehabisan energi. Waktu luang ada, tapi aku lebih memilih untuk malas-malasan.

"Weekend emang nggak sempat, Nan?" tanya Putra.

"Bukan nggak sempat, weekend gue sibuk antar nyokap gue pergi-pergi, kalau engga ya pingsan di kasur," jawabku sambil cengengesan.

"Lah, lo kapan pacarannya kalau gitu?" Fifi menimpali.

Di antara kami bertiga, yang saat ini punya pacar hanya aku. Putra single sejak putus dengan mantannya hampir setahun yang lalu, sementara Fifi selama setahun ini sudah gonta-ganti pacar tiga kali tapi nggak ada yang awet. Aku sendiri masih dengan Saga, pacarku sejak kuliah. Tahun ini adalah tahun keempat kami berpacaran dan baik Fifi maupun Putra sudah mengenal Saga.

"Hmm gue udah jarang nge-date nih, malas," kataku lesu.

Fifi yang ekspresif langsung membelalak. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa sih, lagi jarang aja. Abis sama-sama sibuk, habis itu gue juga kadang malas keluar, lebih pengen quality time di rumah," jawabku sambil mengangkat bahu.

Fifi dan Putra saling pandang.

"Lagian kan keluarga gue lagi repot nyiapin pernikahan kakak gue, jadi gue mesti bantu-bantu juga." Aku buru-buru menambahkan. Mas Bimo, kakak semata wayangku, memang akan menikah beberapa bulan lagi. Walaupun notabene hanya menjadi keluarga besan dan bukan yang punya hajat, persiapan keluarga kami nggak kalah heboh.

"Wajar sih, kalau pacaran udah lama terus bosan nge-date," jawab Putra memaklumi, tapi menggantung.

Aku menyipitkan mata curiga. "... Tapi?" pancingku.

"Nggak ada tapinya kok," jawab Putra sambil menyeruput es teh manisnya. Ekspresi mukanya datar.

"Omongan lo gantung, terus kaya hati-hati gitu. Mencurigakan." Aku menuduh.

Putra tertawa. "Ampun deh Nan, gue cuma bilang wajar kalau udah pacaran lama terus bosan, kan lo duluan yang bilang gitu? Gue setuju kan?"

"Setuju sih setuju, tapi gue curiga nih... abis lo berdua pakai lihat-lihatan segala tadi, Gue jadi insecure."

Refleks, Putra dan Fifi kembali saling pandang. "Tuh kan!" seruku sambil mengacungkan jari telunjuk.

Dengan santai Fifi menepis jariku. "Apaan sih, lebay lo. Lo pikir gue sama Putra bisa telepati gitu?" tukasnya enteng.

"Ya lo berdua kan lumayan kenceng radarnya kalau ngomongin orang," balasku.

"Suudzon banget." Putra geleng-geleng kepala.

"Nggak ada apa-apa Nandaaaaa."

Aku masih belum percaya dan baru akan menyanggah lagi ketika Fifi menyuruhku untuk cepat menghabiskan makananku. "Sudah mau jam satu," katanya. Piring Fifi dan Putra sudah bersih. Cepat-cepat aku menghabiskan makananku dan menyedot habis es teh manis di depanku.

Waktunya kembali ke kantor. 

Cinta & Dunia MayaWhere stories live. Discover now