Dalam Ruang Juang

9 0 0
                                    

Romi, Rangga, Sanu, dengan semangat tinggi dan menggebu-gebu meneriakan orasi secara bergantian di depan kantor DPRD Provinsi Bengkulu. Ada ratusan aktivis berdiri di depannya membentuk barisan.


Demo yang dilayangkan sebagai bentuk kritisi dan mendesak pemerintahan Jokowi dan kawan-kawan untuk lengser, adalah bentuk lanjutan dari demo-demo lainnya dari berbagai daerah.

"Dari dan untuk rakyat, seratus pemuda sepertiku mampu membahanakan keadilan. Walau diterjang ribuan tombak berkarat, timah panas dan gas air mata yang kami tahu bahan mentahnya, kami takkan mati sebelum senja benar-benar menyesap usia." kata-kata yang tak pernah padam, menggilas stigma masyarakat tentang mati surinya mahasiswa.

Segala macam kritik, cerca dan cacian, menghujam bertubi-tubi, menerpa beberapa anggota dewan yang berada dalam gedung DPRD. Sumpah serapah menjejali pihak keamanan agar membiarkan mereka masuk ke dalam markas besar wakil rakyat tersebut. Secara sengaja, rentetan kalimat provokasi membentuk pola pikir aktivis lainnya untuk geram, panas, dan liar.

Tidak ada respon dari kepolisian dalam meredam orasi yang menjurus kearah menyimpang tersebut. Dengan tetap diam mematung, menjadikan segenap raganya berarti sebagai alat negara, bukan jemari rakyat kelas rendah. Kesalahan terbesar dari keduabelah pihak adalah, tujuan demokrasi, penyampaian frasa yang nyelekit, dan bentuk perdamaian yang signifikan tanpa menimbulkan bekas dan jejak dari segala mediasi yang ada.

Meski setelah empat puluh lima menit pertama orasi pemanasan masih belum menghasilkan apa-apa, akhirnya koordinator demo menyerukan untuk maju satu langkah melewati garis polisi. Disusul dorongan yang menggebrak dada para pagar betis, timbulah pemicu kepolisian mendesak mundur aktivis menuju jauh dari ketetapan yang ada.

Mahasiswa panas. Belum sempat mengajukan tuntutan secara beruntun, bangkitlah semangat untuk menyingsingkan lengan dan beradu kekar dengan pihak keamanan.

"Urusan kami bukan padamu, wahai pak polisi!", seru salah satu koordinator lapangan.

"Benar. Kami tidak ada urusan dengan kalian. Masalah kami hanya pada anggota dewan. Wakil rakyat bangsat itu. Biarkan kami masuk!". Massa menggebrak dan adegan saling dorong tak terkendalikan lagi. Darah keduabelah pihak membebani sirkulasi kepala, mendidih di hatinya.

Tujuh anggota dewan dengan seksama tertawa di balik jendela gedung, tempat rapat paripurna. Mendengar sayup-sayup pekikan menyengat antara koordinator kepolisian yang mencegah untuk maju melangkah, dan orator mahasiswa yang sedang menyulut api juang, merekah kekehan jahat dari sejumlah dewan yang ada. Tiga di antaranya disebut-sebut telah membohongi kesepakatan sebelumnya. Kesepakatan mensejahterakan tenaga kerja lokal dan menekan laju inflasi, diukur gagal dan hanya cuap-cuap semata.

Dari sisi lain, para Senator dan Kepala Daerah, diam seolah-olah tidak ikut andil dalam memperjuangkan nasib rakyat. Enggan berkomentar adalah senjata ampuh kala pihak mediasi menanyakan kejelasan yang dilayangkan kepadanya. Dan, hmm, adalah sebuah sorotan yang ditengarai jadi titik akhir demokratisi.

Sampai pada waktunya, mahasiswa bersikeras dan merujuk ke-anarkisan. Batas-batas kesabaran tidak lagi redam. Para aktivis dengan geram melemparkan senyuman disertai bogem mentah kepada para anggota kepolisian. Segala bentuk benda padat melayang di atas para pendemo, membabi buta mengenai pelipis dan kekar bahu. Tidak mau kalah, pihak keamanan dengan lihai mengelak dan membalas segala jenis hantaman.

Tidak sedikit mahasiswa dan polisi jatuh mengalami luka. Para korlap yang dinilai gagal mengendalikan massa, dan para aktivis yang terlihat memprovokasi, secara membabi buta ditangkapi oleh intelejen berpakaian preman. Tidak tahu dari mana arah mereka datang. Tiba-tiba saja, keadaan semakin senyap disusul dengan guyuran gas air mata yang memaksa membubarkan para massa.

Baku hantam menjadi sebuah tanda tanya retorika, pada ruang mana kita bersenggama, mengawinkan aspirasi rakyat dengan kebijakkan pemerintah. Pada nilai manakah kita berdiri di ujung tombak ideologi, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, atau Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atau mungkin, tetap pada frasa hmm.

Seiring suara sirine dan azan Ashar berkumandang, para aktivis mulai luruh meredam pitam. Demo tak lagi dilanjutkan karna tuntutan hanya sebatas gerbang perwakilan rakyat.

***

Bengkulu, 18 September 18

Dalam Ruang JuangWhere stories live. Discover now