Part 2

8.1K 936 148
                                    

"Saya sudah menghubungi suami Anda, Bapak Nayaka Bratadikara. Tetapi beliau mengatakan bahwa ia sudah tidak ingin mendengar kabar apapun lagi dari Anda. Beliau sudah mendaftarkan gugatan perceraian terhadap Anda sebulan yang lalu." Orlando menginformasikan kabar terbaru, mengingat Maya belum bisa mengingat jati dirinya. Karena Maya diam saja, Orlando pun melanjutkan kalimatnya.

"Saya juga sudah menghubungi kedua orang tua Anda, Bapak Candra Daniswara dan ibu Kartika Daniswara. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak mau bertanggung jawab lagi terhadap semua tindakan ehm, maaf tidak bermoral Anda selama ini. Jadi saya harap Anda mengerti, kalau Anda merasa heran kenapa hanya Anda satu-satunya pasien di rumah sakit ini yang tidak pernah dikunjungi oleh keluarga mau pun kerabat. Saya minta maaf, saya tidak bisa berbuat banyak untuk Anda."

Orlando berusaha merangkai kalimat sehalus mungkin untuk Maya. Tetapi tetap saja rasanya terdengar cukup menyakitkan saat tidak ada seorang pun yang ingin menjenguknya alih-alih membawanya pulang.

"Te—terima kasih karena Anda sudah bersusah payah untuk berusaha menghubungi orang-orang terdekat yang masih memiliki hubungan dengan diri saya. Tidak apa-apa kalau mereka semua tidak menginginkan saya. Kita kan tidak bisa memaksa orang untuk mencintai atau membenci kita bukan? Hanya saja saya merasa bingung mengapa mereka semua menolak saya. Apakah sebelumnya saya begitu jahat sehingga tidak termaafkan oleh mereka semua Pak AKBP?"

Maya merasa begitu merana saat orang-orang terdekatnya menolaknya sedemikian rupa. Sebenarnya apa yang sudah dilakukannya? Sayang sekali pada saat ini ia tidak bisa mengingat apa-apa. Sehingga dia tidak tahu sebesar apa kesalahan yang pernah ia perbuat dulu.

Tetes demi tetes air matanya mulai menganak sungai. Sesungguhnya Maya begitu ketakutan dalam menghadapi masa depannya. Kehilangan ingatan saja sudah membuatnya begitu merana. Ditambah orang-orang terdekatnya menolak kehadirannya, ia sangat merana. Maya gamang menghadapi hari-hari berikutnya tanpa siapa pun yang bersedia membantunya.

Maya memindai sang AKBP yang sepertinya akan pergi. Berarti ia akan kembali sendirian. Meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan karena ia tidak mengenali dirinya sendiri.

"Tolong Pak Polisi, ja—jangan pergi." Maya meraih lengan Orlando. Memegangnya erat-erat, seperti berpegangan pada pelampung penyelamatnya.

"Jangan pergi, please," mohon Maya lagi. Maya memindai wajah maskulin Orlando sedikit melembut. Namun tatap matanya berbanding terbalik dengan sikap lembutnya. Raut wajahnya seperti mengejek dan merendahkannya. Maya memang amnesia. Namun bukan berarti ia kehilangan kemampuan untuk membaca air muka seseorang.

"Saya tidak suka melihat air mata. Teruslah menangis dan saya akan pergi," desisnya Orlando dingin.

"Ba—baiklah saya tidak akan menangis. Saya akan tertawa saja agar Anda merasa betah disini menemani saya. Hahahaha."

Maya mencoba tertawa di antara derai airmatanya. Tetapi air matanya tidak mau bekerjasama dengan tawanya. Air matanya masih saja mengalir deras yang membuay Orlando memaki pelan.

Orlando meraih tubuh Maya beserta dengan selimutnya sekaligus ke dalam pelukannya. Mengayunkannya maju mundur perlahan dengan pelukan yang kuat dan menenangkan.

Maya seketika merasa begitu tenang. Perlahan ia meletakkan kepalanya pada lekukan kokoh bahu Orlando. Untuk pertama kalinya memperhatikan detail wajah maskulin namun cantik itu.

"Bolehkah saya meminjam cermin? Saya sangat ingin melihat wajah saya sendiri, kalau Anda tidak keberatan." Orlando pun berlalu dari kamar bernomor 156 itu. Ia mencari perawat dan minta dipinjamkan sebuah cermin. Saat Orlando kembali dan memberikan sebuah cermin bulat sederhana ke tangan Maya, Maya mengangkat cermin itu tepat ke wajahnya.

BIAS (The Tears I Shed) TamatWhere stories live. Discover now