Chapter 2

179 3 0
                                    

Aku duduk dengan manis di kelas bisnis, bisa saja aku membeli kelas eksekutif tapi untuk apa? Harganya jauh berbeda tapi sebenarnya fasilitasnya sama saja, mungkin bedanya adalah kalau kamu di kelas eksekutif dan memperlihatkan muka tidak nyaman para pramugari akan siaga menanyakan apa yang terjadi.

Aku menaikkan kakiku ke atas kursi sebelahku yang kosong, pesawat tidak terlalu penuh, masih banyak kursi yang tidak terisi. Biasanya transportasi akan penuh apabila sudah memasuki masa liburan panjang, tapi itu membuatku bebas. Maksudku walaupun kursinya lebar tapi tetap saja tidak akan nyaman apabila ada orang lain yang akan memperhatikan apa yang kamu lakukan selama tigapuluhtujuh jam penuh.

Perjalanan ke New York itu benar-benar membutuhkan mental yang kuat. Sebenarnya aku sudah biasa pergi ke New York, tapi ini yang pertama kali setelah satu tahun penuh aku tak mengunjungi Cathy. Aku mencoba memejamkan mataku, namun percuma saja karena aku selalu kesulitan untuk tidur dalam perjalanan. Walaupun aku sangat lelah karena persiapan yang sangat singkat, hanya empat hari untuk bersiap-siap!

Ada tiga alasan kenapa aku tidak bisa tidur di pesawat.

1. Kursinya tidak nyaman untuk diduduki selama tigapuluhtujuh jam. Walaupun bisa di-set tetap saja tidak akan seperti tempat tidur di rumah

2. Karena ada cahaya walaupun sedikit. Sebenarnya ada penutup mata, tapi memakai itu hanya membuatku merasa menjadi korban penculikan. That's scary!

3. Aku tidak mau mengambil resiko orang-orang akan mengetahui my sleep habit, walaupun kemungkinan mereka tidak akan complain karena aku tidak mengorok, tetapi ngiler itu sudah cukup memalukan.

Aku mencari hal lain yang dapat kulakukan untuk menghabiskan waktu, tinggal enam belas jam lagi sebelum mendarat di JFK Airport, semua lagu yang ada di playlist MP4-ku sudah kudengarkan sekitar dua kali, netbook-ku sudah kehabisan baterai, cemilan sudah habis dan aku tidak mau menonton karena ternyata film yang diputar adalah film dokumenter tentang (lagi-lagi!) Wonder Boy yang sedang tour dunia.

Aku tergoda untuk menyalakan HP, tapi mengingat banyaknya pesawat jatuh gara-gara tabrakan sinyal aku membuang ide itu jauh-jauh. Maksudku, kamu tak mau pulang ke rumah hanya menjadi bagian dari blackbox kan?

Aku mengambil majalah yang ada di depanku, majalah Vogue terbaru. Di cover-nya segerombol cowok dengan rambut warna-warni memakai pakaian yang serba putih dan berpose seolah-olah mereka adalah cowok-cowok ter-keren di dunia! Wonder Boy again?

Ya ampun! Kenapa sih harus mereka terus? maksudku Vogue adalah salah satu majalah terbaik yang pernah terbit di dunia, tapi kenapa model covernya harus mereka? Bukannya dibandingkan mereka masih ada supermodel? Kenapa tidak Vokalis Maroon 5 - Adam Levine atau sekalian Ashton Kutcher yang sekarang jadi dudanya Demi Moore? They are hottie!

Aku menyerah dan kembali menyalakan MP4-ku, aku memilih lagu "Jeremy"-nya Pearl Jam yang sudah kuputar sekitar limapuluh juta kali. Suara serak Eddie Vedder selalu bisa menenangkan aku, tapi wajah cowok-cowok anggota Wonder Boy itu sangat mengganggu pikiranku.

Aku tidak punya masalah dengan vocal group seperti Boyz 2 Men atau AzYet, mereka keren! Tapi kalau aku melihat Wonder Boy aku selalu sangsi apa mereka bisa bernyanyi, maksudku kamu diperbolehkan merekam album apabila memang benar-benar bisa bernyanyi, bukan karena muka kamu fotogenik untuk dijadikan cover album dan video klip kan? Dan wajah mereka ini benar-benar halus, setiap lekukannya seperti dipahat. Mereka seperti Ken, pasangan Barbie. Bahkan ada beberapa yang lebih mirip Barbie daripada Ken. Itu sangat keterlaluan!

• Aku tidak suka Pretty Boys, karena kulit mulus itu hanya boleh dimiliki cewek, bayangkan kalau pacar kamu wajahnya lebih mulus dari kamu!

• Aku tidak suka cowok yang operasi plastic kecuali untuk menghilangkan luka bakar atau karena muka mereka hancur karena kecelakaan.

Cowok Gue... (Boyband?)Where stories live. Discover now