08 # Rumah

420 115 1
                                    


Bagi Lucas, rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, melepas penat dari segala kesusahan dan kejamnya dunia luar. Walau rumahnya kadang sepi karena papa dan mamanya sering pulang sore, tetap saja slogan Rumahku Istanaku dipegang teguh oleh Lucas.

Karena itu, dia terus menatap aneh Mark yang tak hanya sekali dua kali melongokkan kepalanya ke arah pintu kamar─yang ditutup ibu Mark setelah beliau menyuguhkan susu vanila untuk keduanya, entah untuk alasan apa.

Lucas mengernyit.

Apa kehadirannya semengganggu itu bagi Mark? Hei, dia bukan pencuri apalagi penjahat kelamin.

Walaupun pintu kamar ditutup pun, Lucas tidak akan melakukan apa-apa selain berkutat dengan buku Kimia dan playstationnya.

"Kalo lo nggak nyaman pintu kamarnya ditutup, buka aja gapapa kali," akhirnya Lucas tidak tahan untuk komentar.

Semenyebalkan apa pun dia dan seingin apa pun Lucas membuat Mark kesal, kalau sampai pemuda blasteran Canada itu tidak nyaman di rumah sendiri, tentu saja Lucas merasa sungkan.

"Nggak masalah," tukas Mark. Perhatiannya kembali tertuju pada buku paket Kimia, namun sesekali ia melirik pintu dengan was-was. "Cuma ... t-tadi gue liat ada serangga."

Lucas terhenyak. "S-serangga?"

Nah, gantian dia yang panik kan.

"Tapi udah ilang," Kentara sekali Mark berusaha mengalihkan pembicaraan. "Abaikan aja. Mana lagi yang lo belum paham?"

Si pemuda jangkung pun memutuskan untuk kembali fokus. "Masih belom paham semua. Gimana bedain soal, mana yang Hidrolisis sama Bauffer?"

"Jadi gini," setelah menghela napas panjang seakan-akan Atlas memindahkan bebannya ke bahu Mark, temannya itu mulai menjelaskan.

×


"Gue nggak habis pikir gimana bisa lo laper, padahal tadi sebelum ke rumah gue lo udah makan. Nambah pula."

Tak bisa mengelak, Lucas hanya cengengesan ketika Mark menggerutu tanpa henti. 

Sekarang mereka sedang menuruni tangga menuju ruang tengah kediaman Mark. Lucas sesekali menengokkan kepalanya kesana kemari, berharap ada foto masa kecil Mark yang mungkin bisa dia jadikan bahan bercandaan.

"Gak usah liat-liat."

Lucas pun mengaduh dan meringis ketika Mark menepuk sekilas wajahnya, tepat mengenai kedua mata dan jembatan hidungnya.

"BIASA AJA DONG."

"Lo juga, noleh-nolehnya biasa aja, Cas."

Si pemuda jangkung mencebik. Sepertinya dia sudah lupa niatnya dahulu untuk menjahili Mark agar bisa melihat wajah stoicnya berubah ekspresi. Buktinya, sekarang malah dia yang dibuat kesal dengan tingkah seadanya si pemuda berdarah Canada.

"Jadi," Lucas pun membuka suara setelah mereka terjebak dalam kesunyian saat turun tangga dan masuk ruang keluarga. "Kita makan di luar apa makan masakan Mama lo aja?"

"Mama nggak masak," tukas Mark cuek, bahkan tanpa menoleh ke arah Lucas sedikit pun.

"Lo yang traktir kan?" Lucas cengengesan.

Dia berharap Mark akan menoleh lalu berusaha memukulnya, tanpa tahu Lucas sudah punya jurus penangkal. Namun yang didapatinya adalah langkah Mark yang terhenti. Ekspresinya berubah masam.

Ralat, ekspresi Mark memang selalu begitu. Hanya saja yang ini lebih parah.

Penasaran, Lucas pun mengikuti arah tatapan Mark.

Imaimashí ─lucas, mark。Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu