Di Taman Kecil

1.6K 258 59
                                    

Di Taman Kecil, Ian pertama kali bertemu dengan Yuna.

Yuna berkulit putih dan bermata sipit, seperti orang Cina. Senyumnya lebar, Ian suka sekali melihatnya tersenyum. Yuna tinggal berdua dengan Mamanya yang akrab dipanggil dengan sebutan Tante Win. Rumah mereka kecil, jadi satu dengan sebuah kedai teh dengan banyak tanaman hias di pekarangannya. Itulah Taman Kecil, kedai teh mungil yang asri dan beraroma sinamon. Tante Win yang menamakannya.

"Halo, mau pesan teh apa?"

Ian ingat itu kalimat pertama yang diucapkan Yuna padanya. Bocah kecil itu berdiri di balik bar dan tersenyum dengan gembira. Dulu Ian penasaran kenapa Yuna bisa setinggi itu sampai mampu melampaui meja bar sementara ia harus mendongak dan berjinjit hanya untuk bisa menyejajarkan pucuk kepalanya. Apa mungkin Yuna pakai egrang?

(Belakangan Ian tahu kalau waktu itu Yuna memanjat sebuah dingklik untuk membuatnya terlihat lebih tinggi dari balik bar.)

Ian ingat bagaimana Tante Win yang keluar dengan sedikit tergopoh dari dapur menyambutnya dengan senyum hangat dan langsung membikinkan teh bunga rosella untuknya. Ian nggak perlu bayar, anggap aja ini tanda perkenalan. Begitu katanya.

Ian suka teh rosella yang merah dan suka memandangi Yuna tersenyum. Hampir setiap pulang sekolah—setelah Ian selesai mengerjakan PR dan tidur siang, tentu—Ian akan berlari ke Taman Kecil dan bermain dengan Yuna hingga maghrib menjelang. Ia dan Yuna biasanya main restoran-restoranan. Yuna jadi koki, kasir, sekaligus pelayan sementara Ian jadi pelanggan.

Pernah suatu kali Ian protes karena bosan terus-terusan jadi pelanggan, ia juga ingin jadi koki dan menggunakan peralatan masak mainan milik Yuna yang terbuat dari tanah liat itu. Yuna bilang, laki-laki tidak boleh main masak-masakan. Ian tidak percaya. Dia rasa, Yuna mengatakan itu hanya karena ia nggak mau mainan masak-masakannya disentuh (dan mungkin dirusak) oleh Ian. Dasar pelit.

Ian juga suka mendengarkan radio bersama Yuna. Seringnya radio Yuna memutar lagu-lagu bahasa Cina yang tidak ia mengerti artinya. Tapi Yuna kerap ikut bernyanyi, dan jika Yuna sudah bernyanyi, Ian tidak lagi mempermasalahkan bahasa asing tersebut. Ian suka mendengar suara Yuna.

"Yuna, kamu orang Cina beneran ya?" Ian pernah bertanya suatu hari pada Yuna.

"Iya. Kata Mama, ayahku datang dari dataran Cina, dia pedagang yang jualan kain sutra di pelabuhan" Yuna menjawab antusias. "Ayah juga berdagang guci antik dan porselen-porselen. Lihat piring porselen itu? Kata mama, itu hadiah dari ayah. Jangan dipegang! Harganya mahal, berjuta-juta"

Ian hanya mengangguk sambil mencuri pandang ke arah salah satu piring porselen yang dipajang di etalase Taman Kecil. Yuna bilang ia tidak boleh pegang, tapi demi Tuhan ia ingiiiin sekali menyentuh benda cantik itu. Sedikit saja, masa tidak boleh?

"Terus ayah kamu di mana sekarang? Di kantor ya?" Ian bertanya lagi.

Ia tahu orang dewasa menghabiskan hari-hari mereka di kantor dan terbungkuk mengetik-ngetik dengan mesin tik. Bapak begitu. Ian pernah melihatnya saat Bapak mengajaknya berkunjung ke kantornya waktu itu.

Ayah Yuna harusnya juga 'kan?

Tapi Yuna malah menggeleng. "Kata Mama, ayah kerjanya bukan di kantor. Tapi di kapal. Ayahku pelaut, Ian. Pelaut!"

Saat itu, Ian hanya ber-ooh ria sambil membayangkan betapa kerennya ayah Yuna berada di balik kemudi kapal dengan topi nahkoda. Gagah, seperti tokoh di buku-buku cerita yang suka dibacakan Ibun di rumah. Pantas saja ayah Yuna tidak pernah kelihatan di rumahnya. Jadi pelaut pasti sibuk sekali. Apalagi jadi pelaut sekaligus pedagang.

Nine to FiveWhere stories live. Discover now