Dari Gadis Berbaju Merah hingga Perempuan Berhijab Ungu

10 0 0
                                    


"Tunggu dulu, ya, Mbak."
Rena menjawab 'iya' pada si Mbak-Mbak pegawai salon setelah dia memasangkan alat yang tampak seperti helm astronot pada kepala Rena. Gadis itu melirik jam tangannya. 'Setelah ini, aku pulang,' bisik batinnya.

Waktu menunjukkan jam tujuh malam. Sepulang kerja tadi, Rena mampir di Mall ini untuk belanja kebutuhan bulanan. Sekalian saja dia memutuskan creambath ketika melewati salon yang ada di Mall tersebut.

"Mbak, aku mau sekalian pedicure doong, bisa ya?"
Rena melirik pada perempuan cantik yang juga sedang creambath di sisi kanannya. Dia mengenakan gaun merah dengan belahan dada yang cukup rendah dan sebuah kalung menghiasi leher putihnya. 'Laki-laki mana yang bisa menahan diri tak melirik bila berpapasan dengannya,' pikir Rena.

Saat seorang pegawai salon mulai membersihkan kaki perempuan itu, Rena kembali mengalihkan pandangan pada majalah lama yang ia baca untuk mengisi waktu.

"Mbak, Mbak, tolong HP saya, dong." Perempuan berbaju merah tadi mengacungkan telunjuknya yang lentik pada tas Hermes di atas meja.
Dari dalam tas itu terdengar suara dering ponsel. Pegawai salon tadi dengan patuh mengambilkan ponsel tersebut.

"Halo, Dika sayaanng. Iya, Beb, aku masih nyalon. Kamu jadi jemput, kan? Iya, Beb. Makasih, Sayaaang."

Rena mengerutkan kening saat mendengar nama yang disebut perempuan itu lalu mengabaikannya.

Usai, creambath, cuci rambut dan blow, Rena membayar tagihan di kasir. Sementara si gadis berbaju merah baru saja selesai di pedicure dan masih dicuci rambutnya.
Baru saja Rena hendak membuka pintu salon ....

"Woaa, ada Angel ternyata!"
Rena membelalakkan mata pada laki-laki yang muncul di hadapannya. Yang ditatap sudah mengalihkan pandangan seolah tidak menegur Rena barusan.

"Bebeb! Kamu sudah datang. Aku cuci rambut dulu. Dikiiiit lagi," teriak si gadis berbaju merah tadi.
Rena menaikkan alisnya, tersenyum dan melewati Dika tanpa berkata apapun.

"Sst. Lu bisa puitis juga ternyata?" bisik Dika tiba-tiba di telinga Rena setelah dia yakin sang pacar tidak melihatnya.
"Maksud lu?"
"Tapi perumpamaan lu gak tepat. Kenapa pion catur? Bukan malaikat? Kan elu 'Angel'!" Dika tergelak dan Rena bisa merasakan pipinya merah.

"Jadi lu yang ngambil kertas gue. Balikin, nggak?"
"Woaaa, salah lu sendiri, kenapa dijatuhin. Kertasnya udah gak ada ma gue. Tahu ke mana." Usai mengatakannya Dika melengos, menuju kursi terdekat lalu duduk tanpa peduli tatapan Rena.

***

"Ren, kita ketemu di Masjid Al-Hikmah saja, ya."
Karena sepenggal WA dari Nazwa itu akhirnya Rena tiba di pelataran Masjid yang luas ini. Letaknya tak jauh dari Mall.

"Assalamualaikum, Rena." Wawa mendatangi Rena dan memeluknya.
"Wa-waalaikumsalam."
Walau terbata Rena mesti membiasakan diri.
"Makasih udah datang ke sini."
"Jauh amat, Wa, milih tempatnya. Kenapa gak di Masjid kantor aja sih?"
"Iya, maaf, hari ini aku ada jadwal liqo di sini. Daripada ditunda-tunda kita gak jadi ketemu terus."

Wawa mengajak Rena untuk duduk di dalam. Ada dua perempuan berhijab lainnya sedang duduk mengaji di sana. Wawa memperkenalkan mereka pada Rena lalu mengajak sahabatnya itu duduk di tempat agak jauh dari keduanya.

"Lina dan Novi teman liqo-ku, Ren. Dua-duanya masih mahasiswa," ucap Wawa menjelaskan.
"Aku turut berduka cita ya, Wa ...."
Wawa menggelengkan kepala. "Sudah, kamu kan sudah pernah bilang begitu. Gakpapa, Ren. Nabila sudah tenang sekarang."
"Kalau ini berat buatmu, gak perlu cerita, Wa."

Yang barusan sebenarnya cuma basa basi, sebab tentu saja Rena sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
"Nggak papa, Ren. Aku memang gak cerita ini pada siapapun. Bahkan tidak pada Murobbi-ku. Tapi aku gak tahan nyimpen ini sendirian."
Rena menyentuh pundak Wawa yang tampak bergetar. Air mata muncul malu-malu di sudut mata Wawa.

"Aku akan cerita ini cuma sama kamu. Tolong jangan sampaikan pada siapapun karena ini menyangkut rahasia keluargaku."
Rena mengangguk. Bagaimanapun, dia harus bisa menjaga kepercayaan sahabatnya.

"Nabila terdiagnosa ODHA, Ren."
"Apa itu?" Rena mengerutkan dahinya.
"HIV. Nabila terkena HIV."
Deg. Jantung Rena seakan berhenti sesaat.
"Waktu pertama saya ambil cuti dulu, karena Mama kebingungan. Nabila gak mau nerusin kuliahnya. Dia kehilangan semangat hidup bahkan sengaja gak mau berobat."
Wawa berhenti sejenak dan mengambil tisu dari dalam tasnya.

"Adikku itu kerjanya tiap hari melamun saja. Baru setelah aku pulang, dia cerita semuanya padaku. HIV-nya sudah menyebar menjadi kanker rahim juga ternyata."
"Ya Alloh ...," desis Rena. Bahkan seorang yg lama meninggalkan ibadah seperti Rena pun masih menyebut nama Tuhan saat mendengar hal seperti ini.

"Bahkan adikku meminta untuk merahasiakan hal ini dari Mama. Mama baru tahu menjelang kematian Nabila. Kata Mama, Nabila seolah berpamitan, malamnya dia cerita semua, esoknya menghadap Tuhan."
Wawa tak sanggup menahan air matanya. Rena memeluk sahabatnya itu dan biarkan dia menangis sepuasnya.

"Kenapa kamu ceritakan ini padaku?"
Wawa menghapus air matanya dengan tisu. Kini perasaannya sudah lega usai menangis.
"Karena aku peduli sama kamu, Ren."
Wawa menyentuh tangan Rena.

"Aku ingin kamu meninggalkan dunia hitam itu, dunia yang pernah kusinggahi dulu."
Rena terdiam. Tiba-tiba dia tak sanggup menatap mata sahabatnya.

"Aku kenalkan kamu pada Mbak Rara ya, Murobbi-ku."
Rena membuka mata hendak menjawab saat suara seseorang mengejutkan mereka.

"Assalamualaikum. Yang namanya Mbak Nazwa yang mana, ya?"
Perempuan berhijab yang mengenakan blazer ungu itu menatap Rena dan Wawa bergantian.
"Saya, Mbak," jawab Wawa.
"Afwan, ana Nafisa, Mbak Rara meminta ana gantikan isi liqo hari ini karena beliau berhalangan."

Rena masih memperhatikan perempuan yang kini sedang menyalami Lina dan Novi, diikuti dengan Wawa. Sebelumnya, Rena sudah menolak halus permintaan Wawa untuk mengikuti kajian sore itu. Rena masih belum siap dan Wawa akhirnya memahami.

Saat hendak keluar dari Masjid, Rena kembali menoleh ke arah mereka, tepatnya pada perempuan yang mengenalkan diri dengan nama "Nafisa" tadi. 'Kayak pernah lihat Mbak ini, di mana ya ....' Rena berusaha mengingat-ingat namun nihil hasilnya.

' Rena berusaha mengingat-ingat namun nihil hasilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Serpihan PuzzleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang