11 Januari (bagian 1)

556 49 16
                                    

Menghadapi tanggal 11 Januari tidak pernah terasa semenegangkan ini sebelumnya bagi Hwang Hyunjin.

Setelah dua setengah tahun menjalin hubungan dengan Lee Chaeyeon, tanggal 11 Januari selalu menjadi tanggal yang spesial untuk mereka berdua. Hari itu spesial karena di hari itulah Chaeyeon berulang tahun. Mereka selalu menghabiskan hari bersama di hari itu, yang berarti Hyunjin harus mengambil cuti dari pekerjaannya begitu pula dengan Lee Chaeyeon.

Agenda mereka biasanya akan cukup padat dari pagi hingga malam hari; entah itu jalan-jalan ke suatu tempat, mengunjungi orangtua Chaeyeon, atau hanya menghabiskan waktu berduaan di apartemen Hyunjin. Secara teknis, mereka belum tinggal bersama. Hanya saja apartemen Hyunjin lebih luas dan lebih dekat dengan tempat kerja Chaeyeon sehingga ia lebih sering menghabiskan waktu di sana. Apartemen gadis itu berjarak cukup jauh dari tempat kerjanya, tetapi lebih dekat ke universitas tempatnya berkuliah dulu. Dan ia berhasil lulus lebih cepat daripada perkiraan sehingga masih ada beberapa bulan tersisa sebelum jangka waktu sewa apartemennya habis.

Biasanya Hyunjin akan menjemput Chaeyeon sebelum pukul delapan malam tepat sebelum ulang tahun Chaeyeon. Lalu mereka akan menuju apartemen Hyunjin, lalu duduk berdua di sofa yang menghadap balkon apartemen, menghitung mundur hingga hari berganti. Namun kali ini Hyunjin memiliki rencana lain. Alih-alih muncul di depan pintu apartemen Chaeyeon pukul delapan, Hyunjin justru sedang memacu mobilnya menuju Apgujeong sembari berbicara dengan gadis itu di telepon.

"Aku nggak bisa menjemputmu malam ini. Maaf, Chaeyeon-ah."

Telinga Hyunjin menangkap helaan napas samar di seberang sana, membuatnya terpaksa menggigit bibir untuk menahan rasa bersalah. Hyunjin bisa merasakan kekecewaan dalam setiap tutur kata Chaeyeon yang bertanya, "Ada pekerjaan penting, ya?" pada Hyunjin. Pemuda itu membalas dengan "ya" pelan, berusaha mempertahankan kebohongannya sedikit lebih lama. Chaeyeon tahu kalau Hyunjin adalah seorang pembohong yang buruk. Namun untuk kali ini Hyunjin berharap Chaeyeon bisa mempercayai kebohongan putihnya.

'Kamu harus bisa berbohong, Hyunjin. Demi kebahagiaan Chaeyeon,' ia terpaksa memutar ulang kata-kata Changbin dalam kepalanya demi mengurangi perasaan bersalah itu.

"Oke," Chaeyeon menghela napas lagi, "Kalau begitu...nanti aku merayakannya sendiri?"

Hyunjin menghembuskan napas berat. Chaeyeon sangat jarang merajuk. Namun jika gadis itu merajuk, maka bisa dipastikan bahwa ia benar-benar ingin bersama Hyunjin saat itu.

"Aku akan meneleponmu jam dua belas, oke?"

"Kenapa nggak video call?"

Pemuda itu mengacak rambutnya, sedikit frustrasi menghadapi Chaeyeon yang seperti ini. "Karena aku di kantor dan ada Changbin, Jisung, Minho, dan masih banyak lagi. Aku tidak mau mereka melihat mengintip pembicaraan kita."

"Baiklah," Chaeyeon sepertinya sudah menyerah untuk mencari tahu. Hyunjin diam-diam merasa lega. "Hati-hati di jalan. Dan jangan memaksakan diri meneleponku kalau memang masih sibuk. Aku kayaknya nggak bakal tidur semalaman."

"Lee Chaeyeon, please."

"Baiklah. Baiklah. Aku bercanda," tetapi Hyunjin tahu gadis itu masih merajuk, "sana nyetir dulu. Jangan menerobos lampu merah, ya. Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Hyunjin-ah."

Untuk kali ini, Hyunjin tersenyum mendengar ucapan Chaeyeon. "Baiklah. Sampai nanti. Aku sayang padamu."

"Hm. Aku juga. Bye, Hyunjin."

Begitu sambungan terputus, Hyunjin segera mengganti persneling dan melaju lebih cepat menuju Apgujeong, mengabaikan detik-detik terakhir lampu hijau yang akan berganti kuning.

***

Alih-alih menuju kantor seperti yang tadi ia beritahukan pada Chaeyeon, Hyunjin melajukan mobil meenuju apartemen Changbin. Urusannya di Apgujeong sudah selesai, tetapi ia masih harus melakukan beberapa hal lagi untuk mempersiapkan kejutan istimewa untuk Chaeyeon. Terlalu fokus pada rencana ini membuat Hyunjin tidak menyadari bahwaa ia belum makan apapun dari pagi, sehingga ia harus singgah ke restoran cepat saji terlebih dahulu untuk membeli makanan.

"Lama sekali, sih? Harusnya kamu sudah disini sejak lima belas menit lalu," Changbin berucap sinis sebelum merebut kantong plastik di tangan Hyunjin yang berisi bir pesanannya. Pemuda itu hanya memutar bola mata.

"Aku bisa mati kalau nggak makan dulu tadi, hyung. Untung dekat rumahmu ada restoran cepat saji."

"Salah siapa bodoh," Changbin berucap asal sembari membuka kaleng birnya, "Kepalamu terlalu penuh dengan Lee Chaeyeon sampai tidak ingat makan." Mendengar perkataan ini, Hyunjin mendelik.

"Aku masih lebih baik daripada dirimu yang bahkan nggak berani mengungkapkan perasaan ke orang yang kau sukai sampai sekarang."

Changbin membalas perkataannya dengan jitakan keras, membuat Hyunjin mengaduh dan hendak membalas. Namun sebelum Hyunjin berhasil memiting Changbin, Minho dan Jisung muncul dari pintu depan sembari menatap kedua pemuda itu dengan sorot aneh. Hyunjin pada akhirnya hanya bisa menggerutu sambil mengusap kepalanya yang sakit sementara Changbin menyambut kedua temannya yang baru datang dengan bir pemberian Hyunjin.

"Jadi bagaimana? Sudah dapat cincinnya?" Minho bertanya pada Hyunjin sembari menyampirkan mantel bepergiannya di tiang penggantung. Berbeda dengan Jisung yang meletakkan long paddingnya sembarangan hingga mendapat jitakan dari Changbin. Sekilas perhatiannya terdistraksi oleh pertengkaran Changbin dan Jisung sebelum kembali pada Minho.

"Sudah, hyung."

"Apa kamu yakin dengan ukurannya?"

"Sepertinya begitu," Hyunjin menerawang, "setidaknya jari manisnya nggak bertambah gendut."

"Kalau Chaeyeon dengar mungkin rambutmu bakal habis dijambak, Hyunjin-ah," kali ini Han Jisung menyela. Keempat lelaki itu hanya tertawa mendengar ucapan Jisung sebelum mereka larut dalam pikiran masing-masing. Jisung dan Changbin diam-diam menatap Hyunjin yang terlihat lelah, sementara Minho yang duduk tepat di sampingnya hanya mengusap punggung Hyunjin pelan.

"Memikirkan apa? Jangan bilang kamu tiba-tiba meragukan dirimu sendiri," Minho bergumam. Hyunjin menggeleng pelan sembari menatap layar ponselnya yang menyala, memperlihatkan foto Chaeyeon yang sedang tersenyum lebar.

"Dia kedengaran sedih karena aku nggak menemaninya hari ini, hyung. Dia nggak pernah seperti itu sebelumnya kalau ada rencana yang tiba-tiba kubatalkan tanpa pemberitahuan seperti ini."

"Dia nggak akan sedih lagi besok. Tenang sajalah," Jisung bergumam.

Hyunjin mendesah berat. "Semoga saja begitu."

"Hei, Hwang Hyunjin," Changbin berucap sedikit lebih lantang, mengarahkan kaleng birnya pada Hyunjin, "berhenti merengek dan telepon pacarmu. Kalau dia sedih ya hibur saja. Aku yakin Lee Chaeyeon bukan gadis yang menyusahkan sampai membuat pacarnya berhenti bekerja karena ingin ditemani. Tidak ada gunanya memikirkan hal yang tidak perlu."

Jisung menyikut Changbin, memperingatkannya dengan tatapan agar tidak bersikap terlalu keras pada Hyunjin. Namun bagaimanapun juga, Hyunjin tidak perlu marah mendengar ucapan pemuda itu. Justru ia harus bersyukur karena Changbin berkata apa adanya demi membuat Hyunjin berhenti melakukan hal yang membuang tenaga.

"Changbin benar," Minho menepuk lutut Hyunjin pelan, "sebentar lagi jam 12 malam. Sebaiknya telepon dia sekarang."

Hyunjin mengangguk sebelum bangkit dari kursinya menuju balkon apartemen Changbin. Ia meneguk birnya sebelum memasang earphone, bersiap menghubungi sang kekasih yang sudah ia buat menunggu lama.

Di dering kedua, Hyunjin tersenyum mendengar suara Lee Chaeyeon menyapanya dengan antusias. "Halo?"

"Selamat ulang tahun, Lee Chaeyeon tersayang. I love you so, so much."

***

one & only (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang