Sepucuk Harap

3 1 0
                                    


Amplop cokelat itu masih tergeletak di tempat tidur bersama beberapa buku kuliah dan bahan bacaan lainnya. Sang penerima masih saja gundah atas hadirnya amplop cokelat itu. Duduk di ujung kasur, memandangi amplop itu dengan tatapan yang sebenarnya melampau arah dan dengan gurat kening berlipat pertanda beban yang amat berat. Perlahan gadis berhidung mancung itu meraihnya, membuka, dan menelisik setiap abjad dengan cermat. Tiba-tiba mengucurlah hujan yang begitu lebat di wajahnya.

"Allah, apa yang ingin kukatakan?"

***

"Kenapa kamu memutuskan demikian Sa ?."

"Aku tidak bisa Wa, tidak cocok mungkin?", Asa menjawab asal

"Cerita Sa, aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Dia sholeh, tidak ada cela padanya. Dann, aku tahu kamu juga menyimpan rasa sekian lama kan? Lalu ketika dia datang, engkau sia-siakan begitu saja?" Hilwa tak mampu menebak jalan pikiran sahabatnya itu.

Jeda memberi jarak pada percakapan ini, dua gadis ini sengaja memberi kesempatan pada burung yang berkicau diantara pohon angsana tempat mereka berteduh. Deretan kursi di bawah pohon itu terlihat lengang, hanya mereka berdua saja. Mahasiswa lainnya terlihat enggan duduk ditempat tersebut sebab hujan baru saja reda, kursi-kursi masih basah dan udara masih dingin.

"Dia pantas mendapatkan yang terbaik Wa, bukan gadis yang sakit-sakitan ini".

"Maksud kamu? Sakit yang kamu alami sudah lumrah bagi wanita Sa, kan kamu tahu !, Ahh, ini bukan dirimu Sa, mana sih Asa yang selalu semangat itu, Asa yang mampu memancarkan keceriaan meski sedih sedang bergelayut? Masa' hanya gara-gara sering sakit bulanan, kamu menolak dia? Aneh kamu Sa !" Hilwa kesal dengan tingkat Asa kali ini, pasalnya dia sangat tahu sekali tentang Asa.

Asa tidak menjawab, ia kemudian melepas tas ransel pada punggungnya, meraih amplop putih persegi panjang dan menyerahkanya pada Hilwa. Dengan cepat Hilwa membuka amplop yang berlogo rumah sakit itu. Ada hasil rongent dan beberapa keterangan pada kertas lainnya.

"Allah, ini beneran Sa??!," Mendung mulai menganak di mata Hilwa dan beberapa detik kemudian tumpah. Dipeluknya Asa, sahabat hijrah yang sangat ia sayangi karna Allah. Asa hanya mampu diam dengan ekspresi datar, sudah menjadi kebiasaan baginya menghabiskan air mata dihadapan Rabb-Nya saja. Bahkan Hilwa tidak pernah melihat Asa menangis sekali pun. Dielusnya punggung Hilwa, dia menenangkan sahabatnya karena shock atas hasil diagnose dokter atasnya.

"Udah Wa, ga perlu nangis-nangis gitu kali, masa' yang sakit yang harus ngibur", Canda Asa.

"InsyaaAllah aku kuat kok, kamu tenang aja, dan do'ain aku ya.." Lanjut Asa menguatkan diri menenangkan Hilwa.

Ahh, Asa, aku tidak tahu jika aku yang berada di tempatmu, masih saja murah senyumnya dibalik getirnya ujian.. batin Hilwa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 13, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jatuh AsaWhere stories live. Discover now