PART TWO

52.2K 307 5
                                    

ABRI :

Terima kasih Tuhan, akhirnya selesai juga semuanya. Mulai dari prosesi wajib hingga acara resepsi sederhana yang di adakan di taman hotel ini atas permintaan Imel, karena dia sejak dulu memimpikan garden party sebagai konsep pernikahannya. Segalanya lancar, khidmat, tanpa kekurangan suatu apapun. Aku benar-benar harus mengucapkan beribu terima kasih sama Mami dan Mama mertua, karena berkat kerja keras merekalah segalanya bisa terlaksana seindah keinginan Imelda.

Sementara aku? bagiku nggak ada yang lebih penting selain kebahagiaan Istriku tercinta.

Yap benar. Aku Abrian Atnanjaya sudah tergila-gila, terpesona, terperangkap dalam kukungan kecantikan serta kebaikan sosok Imelda Thaliana Yazha sejak dulu.

CATAT! Sejak dulu. Frasa kata untuk menunjukkan masa lampau.

Kok bisa??

Baiklah, akan kumundurkan sedikit ceritaku.

Aku pertama kali bertemu Imel sewaktu umurnya masih 7 tahun, dan saat itu diriku adalah seorang remaja labil yang doyan sekali bertengkar serta membuat kekacauan. Dulu kami memang bertetangga dekat, sebelum keluarga Yazha pindah ke Jakarta karena faktor pekerjaan Om, atau sekarang bisa kupanggil PaMer alias Papa Mertua. Di suatu sore aku kabur dari rumah setelah bertengkar hebat dengan Papi, karena beliau menolak mentah-mentah pilihan SMA ku.Beliau ingin aku melanjutkan studi ke sekolah Internasional dengan beasiswa penuh di Australia, sementara aku sendiri lebih suka SMA swasta tempat teman-temanku banyak mendaftar. Sesudah itu aku pergi ke taman dekat rumah. Di sanalah pertama kali kami bertemu.

Imel awalnya hanya ku anggap pengganggu. Terus menerus mendatangiku sambil mengajakku berbicara dengan sepasang bola mata besar hitam gelapnya yang jernih, bibir mungil kemerahannya selalu tertawa lebar, dia memang mentertawakan apa saja selama itu di anggapnya lucu. Kemudian, ada satu kesempatan ketika angin menerbangkan rambut ikal coklat sebahunya. Saat itulah aku sadar betapa cantiknya malaikat kecil itu. Dan bagaimana bisa kehadirannya menghilangkan semua gundahku seketika.

Kemudian aku menangis. Sungguh!

Aku bukan banci, tapi pria boleh juga menangis kan jika memang diperluka. Dan hanya dia yang ada di sisiku, menemaniku, bahkan mengulurkan saputangan miliknya sendiri meski ada sedikit bekas ingusnya.

Lalu aku tertawa, sangat keras. Melihatku tertawa Imel kecil juga ikut terbahak, dia terus tersenyum tanpa tahu apa alasanku tertawa. Yang pasti dia mengikuti semua tindakanku.

Tapi setelahnya aku kembali tersadar, jika dia nggak sekedar meniruku. Melainkan ikut merasakan serta memahami perasaanku. Sejatinya, anak kecil selalu memiliki indra perasa serta kepekaan lebih kuat dari manusia dewasa. Berkah menjadi anak kecil kupikir.

Aku memutuskan untuk membelikan kami berdua es krim, dan menghabiskan waktu sepanjang sore dengan memakan es krim serta bermain kelereng di mana Imel kecil menemaniku. Aku memulangkannya sebelum matahari terbenam, setelahnya menemui Papi serta memberitahunya kalau aku menyetujui rencananya tentang masa depanku.

Sebab, bersama Imel membuatku semakin menyadari jika segala perbuatan Orang Tua pada anak mereka, dasarnya hanya demi kebahagiaan anak itu sendiri.

Sayang sekali, sebelum aku sempat bertemu Imel lagi untuk sekedar mengucapkan terima kasih, dia dan keluarganya sudah pindah. Malam itu juga.

Tapi takdir sangatlah adil. Kami dipertemukan kembali setahun lalu saat dia dan keluarganya kembali ke Surabaya. Imel sudah dewasa. Malaikat kecilku telah tumbuh, berkembang menjadi sosok bidadari surga menawan.

Tubuhnya ramping berlekuk, kaki jenjang, tungkai panjang, rambut ikal lebat kecoklatan se punggung, rahang berbentuk ovale dengan garis lembut. Saat memandangku, sepasang bola mata sewarna buah zaitun di balik deretan bulu mata lentiknya seakan mampu menyihirku, menghipnotisku hingga mampu membuatku melakukan apapun permintaan serta keinginannya.

PENGANTIN BARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang