Kepik Emas

32 1 0
                                    


Abiandra Nehan dan Anjani Anjangsana dua pasang nama yang amat kusuka. Dalam cerita ini, aku menjuluki mereka dengan Nehan dan Anjani. Nehan adalah kekasih Anjani, tapi Anjani hanya pacar Nehan. Bagi yang melihat, Nehan sudah amat beruntung memiliki Anjani yang bisa memberi ketulusan dan perhatian lebih. Parasnya manis, meski tidak begitu manis. Tidak bisa dibilang jelek, tapi tidak sangat cantik, ya hanya cantik. Anjani baik dan jika tolak ukurnya angka-angka di ruang kelas, Anjani adalah gadis yang pintar. Aktif dalam kelas, memiliki catatan yang rapih, tepat waktu, dan selalu menjadi panutan. Ia didatuk sebagai sekertaris utama mendampingi Raka yang tiap kali mencuri-curi padang pada Anjani, lalu tiba-tiba tersenyum melihat senyum Anjani. Anjani bukan tidak mengerti, ia hanya ingin profesionalitas antara ketua dan sekertaris berjalan baik.Tak sedikit yang mengagumi Anjani karena kepribadiannya, tapi ia memilih Nehan.

Nehan, lelaki bercambang tipis dengan mata tajam dan kulit sawo matang. Memiliki badan tidak terlalu kekar, tapi tinggi. Dari tuturnya menggambarkan bahwa ia bukan orang yang pandai merayu dan tidak tertarik bergaul dengan kawan sebayanya, mungkin juga tidak pernah ada yang merasa kehilangan sekalipun ia lenyap dari peradaban kampus. Bukan aktivis, bukan juga seorang olahragawan. Piano, menjadi satu-satunya daya pikat Nehan. Jari-jemarinya telah terlatih membunyikan nada menjadi komposisi lagu. Anjani yang suka bernyanyi merasa Nehan bisa membuat hatinya bersuka cita. Menurut Anjani, Nehan akan cocok menggiring suara alto yang ia miliki keluar dari pesembunyian. Hanya dengan Nehan, Anjani melakukan itu.

"Mas, Jani di warung Mbak Rina. Kalau sudah selesai langsung ke sini saja", Anjani tahu betul bahwa kekasihnya ini sangat menyukai mie ayam. Sebenarnya Anjani tidak begitu suka, ia lebih banyak mengalah sekalipun soal makanan. Lima belas menit dari pesan yang dikirim Anjani, Nehan datang dan langsung memesan mie ayam bakso. Khusus untuk Nehan, Mbak Rina menambahkan satu mangkok pangsit. "Mas Nehan, makan banyak tapi badannya segitu aja. Jani yang makan dikit, pipinya tetep bengkak" ledek Jani. Nehan hanya tersenyum sembari mengelus kepala Anjani.

Selepas makan, Anjani sudah siap membonceng di vespa biru milik Nehan. Jalanan siang menjelang sore tidak terlalu padat kendaran terlebih di kota kecil seperti Purworejo. Anjani setuju jika Purworejo dijuluki sebagai kota berirama. Sebab, Purworejo melahirkan seorang seperti Nehan yang berpuisi melalui pianonya. Purworejo baginya, kota kecil dengan segala ramah dan menjadi rumah ternyaman untuk tinggal. Kota yang tidak telalu bising dan tak begitu ramai, damai serta penuh nuansa. Namun, kota ini tidak cocok untuk seorang hedonis, tidak ada mal, tidak ada tempat nongkrong dua puluh empat jam, tidak ada hotel bintang lima, yang ada hanya lampu alun-alun yang dengan setia mengantarkan jiwa pada ketenangan.

Tujuan telah sampai, kali ini mereka memilih "Curug Silangit" sebagai tempat kencan. Kamu yang terbiasa menghabiskan waktu mengobrol di kafé selama berjam-jam mungkin akan ketagihan duduk di alam terbuka dengan suara gemericik air, dan suara hewan kecil yang bersahut-sahutan. Klasik memang, tapi mengasikkan. Untuk bisa menikmati semua ini, kamu tidak perlu mempersiapkan diri seperti ingin naik gunung atau berpiknik. Sama halnya dengan Anjani dan Nehan, selepas kuliah mereka tidak perlu mengganti baju, tas, sepatu, dan membawa perbekalan lebih. Pergi ke curug atau air terjun di Purworejo tidak jauh beda saat kamu akan pergi nongkrong. Tempatnya sangat mudah dijangkau, mereka hanya memakan waktu paling lama tiga puluh menit untuk perjalanan dari kampus, karena itu Curug Silangit tidak mungkin hanya menyisakan satu pasang manusia di sana.

Tepat di depan air terjun ada tempat duduk terbuat dari semen dengan posisi duduk langsung meghadap ke Curug Silangit. Tempat duduk ini belum ditempati siapa pun, kecuali oleh Anjani dan Nehan. Mereka berbincang sembari mengamati sekelompok anak laki-laki yang suara riangnya berpadu dengan derasnya air terjun yang berdebum menabrak batu dan genangan air. Di sebelah mereka ada pohon manggis yang baru tunas. Pohonnya tak begitu manja, karena angin belum berani menggoda si pohon. Hanya saja, ada yang sejak tadi mencuri-curi pandang ke arah Nehan dan Anjani, berharap mereka sibuk sendiri dan tak memperhatikannya. Ialah si kepik merah dengan totol hitam yang akhirnya hinggap di helai daun manggis kecil. Ia mengistirahatkan sayapnya sembari mawas diri, ia curiga sepasang manusia yang tak jauh darinya tertarik dan ingin menangkapnya.

Kepik itu seekor diri, tiada teman tapi tak terlihat resah. Sebab bersama juga bisa menghadirkan kecewa. Jika dilihat-lihat kepik ini tidak betah menetap, tak lama ia hinggap di daun manggis lalu terbang dan hinggap di rumput teki. Ia tidak ingin menarik perhatian, tapi gerakannya justru membuat mata Nehan dan Anjani mengikuti arahnya. Ajani tersenyum ke arah Nehan dan dibalas senyum pula oleh Nehan. Pukul empat sore mereka masih larut berbincang sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. 

SIKLUSWhere stories live. Discover now