PULANG

101 4 6
                                    



                Ia hanya diam, tak seperti biasanya yang sebermula selalu menyambut kedatangannya, pada kesiur angin yang telah lembut membelai wajahnya, pada bulir di hijau rerumputan yang berebut rebah pada kakinya atau pada sunrise yang malu-malu ingin menyambutnya. Ia hanya bungkam, kadang-kadang cairan bening begitu saja membasahi kedua pipinya, tak ada lagi keindahan baginya. Bersusah payah ia menikmatinya, selalu saja hampa yang datang mendera.

"Siapa gerang yang berani-beraninya telah merampasnya? Atau di manakah aku menghilangkannya? Lantas siapakah yang menemukannya? Berapapun itu aku akan menebusnya."

Bisiknya pelan pada kesiur angin yang sedari tadi jail pada kerudungnya

####

               Bagi para rantau atau seorang yang meninggalkan rumahnya, kata pulang adalah kebahagiaan yang sangat dinanti-nantikan, bahkan sebelum pergi pada perantauan ataupun rumah siapa saja akan memikirkan pulang. Siapapun yang pergi ia pasti akan pulang, apalagi bagi gadis kerudung merah jambu tersebut, semenjak di pesantren sana ia berkali-kali memikirkan pulang agar bertemu keluarga, saudara, kerabat, bahkan teman karib, berjalan-jalan dan lain sebagainya. Semua itu tak lain agar merefresh kepenatan-kepenatan di pesanteren sana menurutnya, tetapi setelah semua yang ia bayangkan telah benar-benar nyata, semua seolah biasa-biasa saja, bahkan lebih parahnya lagi hambar. Padahal berkali-kali ia menyaksikan keramaian ataupun kegaduhan tetapi semakin ia terjun kedalamnya semakin pula ia mengidap kesepian.

"Apakah semua ini termasuk bagian dari ijabah dari anganku yang dulu, bukankah angan termasuk doa, andai saja aku tak menerus membayangkannya, barangkali bukan tak mungkin jika saat ini mungkin aku masih di pesantren sana. Tetapi kini aku dalam ketakutan betapa pulang tak seindah yang kubayangkan dulu, pulang ternyata membuatku semakin kesepian." Ucapnya dalam hati.

###

"Bu, kira-kira April masih bisa berangkat lagi kan..?"

" Anakku april, lihatlah keadaanmu, pikirkanlah dahulu kesehatanmu."

"berarti jika April sembuh, april bisa berangkat lagi kan...?"

"tidak nak, lihatlah usia ibu dan ayah yang semakin renta, kami membutuhkanmu nak."

  "Kami membutuhkanmu ", jawaban itu tiba-tiba saja membuat gadis itu terdiam. Ia tak ingin lagi bertanya meski pada kenyataannya bisa saja ia merengek-rengek meminta belas kasihan agar dirinya di pesanteren lagi, tetapi dia sadar jika saat ini ia bukanlah seorang balita lagi. Dia sudah dewasa, dan dia sadar betul jika saja ia merengek, bukan tak mungkin jika ibundanya sangat lara saat-saat mendengarkannya. Lalu seketika itu pula gadis kerudung merah jambu itu teringat ucapan syaikhuna yang sering kali diucapkan dalam ngajinya, katanya "balasan baik ataupun buruk terhadap orang tua itu langsung diturunkan di bumi ini, jika baik pasti dia akan bahagia dan jika buruk maka hidup kita seketika menderita. Naudzhubillah."

Barangkali inilah saatnya, meskipun yang ia lakukan hanyalah setetes dari kebaikan ibundanya yang seolah laut.

###

                       Bunga di teras rumah semakin hari semakin meranum dan merah, di tambah lagi kafilah angin selalu saja mengajaknya menari-nari ria, hal itu barangkali membuat sekumpulan lebah cemburu pada mereka, maka tak perlu menunggu lama, dengan gesit para lebah mengecup kening bunga tersebut, namun yang dipikirkan gadis kerudung merah jambu ialah bagaimana jika bunga itu layu..? Apakah kafilah angin akan tetap mengajaknya menari? Apakah sekumpulan lebah akan menjumpainya lagi? Tidak, bunga itu gugur dan ditinggalkan. Memang kebahagiaan pasti ada ujungnya, kesedihan pasti ada batasnya, hidup ada matinya, tetapi setidaknya sebelum tiada pepohonan atau bunga itu pernah mekar ataupun berbuah. Sedangkan dalam gadis itu tak pernah sekali saja bermekaran bunga-bunga ataupun berbuah, ia berpikiran betapa bahagianya jika nadhom Al-fiyah berhasil ia khatamkan, betapa hidupnya telah benar-benar bahagia jika saja ia meraih sanad atau jenjang dari guru ke guru hingga pengarangnya yang sudah berabad-abad tahun namanya kian harum, tetapi waktu tak bisa menunggunya lagi. Ahk, kenapa harus waktu yang melulu disalahkan? Baik waktu ataupun gadis kerudung merah jambu, semua ialah takdir dan hal ini tentang bagaimana kita merasa...

###

                       Bising jalanan kini telah sah menjadi instrumen di pagi hari ini, asap-asap debu telah menyatu, mereka menyentuh siapa saja yang dilewatinya, lampu di pinggiran trotoar baru beberapa menit di padamkan, tetapi pagi ini dengan tambahnya usia, ia semakin gaduh saja suasanannya. Gadis itu sejak tadi terusik oleh bebisingan yang begitu saja keluar masuk lewat jendela rumahnya. Sebab jika di pesantren sana dengan waktu kurang setengah jam ia sanggup menghafal bahkan mengikat sepuluh bait alfiyah, tetapi dengan keluar masuknya bebisingan di sekitarnya, ia hanya mampu menghafalkan satu bait, itu pun tak lancar. Ia selalu gemetar mengingat waktu acara di pesantren tinggal hitungan minggu, sedang yang ia hafal satu demi satu perharinya, lalu bagaimana kalau-kalau saat acara nanti ia tak meraih sebagaimana yang ia inginkan?

"kenapa dengan wajahmu sayang?" Sapa ibunnya.

"anu bu, kok April susah sekali untuk hafal ya bu? Padahal jika di pesanten aku.."

"Ssssttt.. Sini anak ku, ucapnya sebelum gadis itu benar-benar menyelesaikan ucapanya."

"terkadang siapa pun enggan jika dipaksa. Ada memang, tetapi siapa yang suka jika dengan paksaan? Seperti halnya bait ini, selama apapun, sekuat apapun kau memaksanya percuma saja sebab tak ada cinta, tetapi jika satu bait demi bait kau nikmati, kau hayati tanpa memaksanya masuk dalam labirin ingatanmu maka dengan suka cita mereka berbondong-bondong hijrah dalam ingatanmu.

Gadis itu hanya diam, setelah ibundanya benar-benar menyelesaikan ucapannya ia membalasnya dengan berkata, "enjih bu, enjih... Jazakumullah, bu." Lantas kembali mencerna kata demi katanya dengan pelan.

###

"jangan bersedih hati april sahabatku tercinta , kau masih bisa ataupun sangat bisa memilikinya, perlu kau ketahui pesantren ini adalah rumahmu, kapanpun kau kemari pintu ini selalu terbuka lebar untukmu".

               Ia masih mengingat kata-kata ini, kata ning (putri kiai) kepadanya setelah beliau tahu kegelisahan yang menerpanya. Kata itulah yang membuatnya kembali hidup lagi, asa-asa yang telah gugur ditikam sunyi kini dilahirkan kembali. "rumahmu", mendengar kata itu gadis kerudung merah jambu itu sempat menggigil, betapa bahagianya ia, sebab tak ada tempat belajar manapun selain pesantren yang menganggap dirinya adalah rumah bahkan keluarga, "jika di pesantren ialah rumah, lantas rumah yang kini dihuninya itu apa..? Tetap rumah, betapa istimewanya aku mempunyai dua rumah dengan ratusan keluarga." Ucapnya dalam hati. Lalu jika pesantren adalah rumah, maka akan ada tempat pulang baginya, gadis itu kembali membayangkan bertemu keluarga, menyesapi secangkir kopi, meneguk teh dan mendengarkan ngaji syaikhuna. Kini ia semakin mantap jika di rumah atau pesantren tak ada perbedaan, ia tetap dan sampai kapanpun, selamanya ia adalah santri. Hanya saja jika di perantren adalah rumahnya mencari, sedangkan jika di rumahnya (yang kini ia huni) adalah tempat ia mengamalkannya, dan jika tahu demikian bukan hanya nadhom alfiyah yang ia hafalkan, tetapi nadhom-nadhom lainnya pun barangkali dihafalkannya bahkan Alquran sekalipun jika memang perlu. Kini di benaknya tak ada lagi ketakutan pada kata pulang, tak ada lagi kesunyian yang bertubian datang, kapanpun kata pulang menjenguknya ia akan dengan senang hati menerimanya, sebab bukankah hidup adalah tentang bagaimana kita merasa...?

PULANGWhere stories live. Discover now