If You Were Me - 1

Start from the beginning
                                    

Daniel menghela napas, berusaha sabar. Ia beberapa kali mengatur diafragmanya agar bisa mengatakan hal yang selama ini hanya tersimpan dalam serebrumnya. “Bukankah mencintai seseorang dengan tulus itu menyakitkan sekaligus membahagiakan, Noona? Karena sewaktu mencintai seseorang, aku bahkan rela menjadi siapa saja untuknyaasal dia bahagia.” Pria itu memberikan jeda sebentar. Ia menatap Nara penuh arti. “Meskipun alasan dia tersenyum bukan karena aku, perasaannya bukan untukku, dan pikirannya memimpikan orang lainasal aku bisa berada di dekatnya, tertawa bersamanya. Hal itu membuatku cukup puas.”

“Gadis yang akan berkencan denganmu pasti sangat beruntung,” kata Nara pelan. Ia mengusap kepala Daniel serupa caranya membelai anak kucing. “Adikku sudah besar,” imbuh Nara.

Daniel pun cemberut akibat sikap Nara. “Aku bukan anak kecil yang kau temui lima tahun lalu,” Daniel mengeluh. “Bagaimana apa Noona sudah siap bertemu dengannya? Kalau sudah aku bisa memertemukan kalian seolah-olah tidak direncanakan,” ujar Daniel mengangkat topik baru.

Nara menggeleng. “Aku ingin pulang ke rumah dan membaca dokumen yang ibu berikan kepadaku,” ungkap Nara sekaligus mengakhiri perbincangan mereka.

Chanyeol sengaja pulang kantor lebih cepat untuk menjemput adiknya di rumah sakit. Pria itu lekas membawa Nara ke rumah agar bisa beristirahat lagi. Kendati demikian, Nara justru meminta dokumen yang ibunya berikan kepadanya. “Kau tidak perlu membacanya hari ini, Nara,” suara Chanyeol mengisi ruang tamu Keluarga Park. “Kau baru saja keluar rumah sakit,” sambungnya. Chanyeol akhirnya ikut duduk di samping Naraia belum sempat membongkar kertas-kertas yang dibawa oleh Han Haera. Ada kecemasan dalam benak Chanyeol, bahwa tulisan-tulisan yang ada di sana dapat mengguncang emosi Nara lagi.

“Ini hanya kertas, Chanyeol. Kau tidak perlu khawatir,” timpal si gadis yang kini mengenakan terusan selutut bewarna cokelat. Nara menyelipkan surai panjangnya untuk berkonsentrasi. “Ibu menyertakan catatan kesehatanku dan Ahra,” Nara bergumam. Gadis itu membalik dokumen lain yang tersimpan di map cokelat. Tangan Nara bergetar saat mengetahui isinya. “Apa dengan menandatangani surat ini aku dan Sehun akan sah menikah secara hukum?” tanya Nara. Ia mendongak ke arah Chanyeol.

“Tidak, kau tak perlu memikirkan dokumen sialan itu. Secara hukum kau sudah menjadi anak angkat dari Keluarga Park. Perjanjian pernikahan antara dirimu dan Sehun mengikat Keluarga Jung serta Oh. Jika kita berusaha membatalkan perjanjian

Maka Keluarga Park yang akan terkena imbasnya,” lanjut Nara sekaligus memotong argumen Chanyeol. Gadis itu tersenyum dingin.

“Itu yang dikhawatirkan Ibuku. Dia tidak ingin perjanjian konyol dari suaminya yang dulu mengusik kehidupannya yang bahagia,” kata si gadis. Nara menggenggam tangan Chanyeol erat. “Katakan padaku yang sejujurnya, aku tidak ingin dibohongi lagi. Apa yang akan terjadi pada kita?”

Chanyeol meraup paras. Raut lelah tak dapat dihapuskan di sana. “Kalau saja kau bukan satu-satunya pewaris Keluarga Jung. Pembagian kepemilikan saham mereka sudah berjalan belasan tahun, The Three Clouds tidak akan membiarkan kita lolos. Mereka membutuhkanmu untuk menyatukan perusahaan. Setelah kau menikah dengan Sehun, hakmu sebagai pewaris Keluarga Jung akan diberikan sepenuhnya kepadamusaat ini hanya diawasi oleh dewan perusahaan karena kau dianggap belum cukup matang.” Pria itu melihat respons Nara. Ia melanjutkan ketika Nara mengangguk paham. “Selama ini, bukan tanpa alasan Ahra berada di Seoulberpisah dengan ibumu. Ahra ditekan sedari dulu untuk diserahkan kepada Keluarga Oh serta mengambil peran sebagai pioner,” jelas Chanyeol.

“Aku rasa karena itu ibu merasa bersalah. Dia mengabaikan Ahra, namun ketika Ahra dapat memberikan yang ia inginkan …” Nara menggantung ucapannya. “Apa kini giliranku yang dimanfaatkan, Park Chanyeol?” tanya si gadis getir.

Chanyeol menarik Nara dalam pelukannya. “Tidak, aku akan memastikan tak ada seorang pun yang menyakitimu lagi.” Pria itu menepuk-tepuk punggung adiknya lembut. “Aku sudah pernah gagal melindungi Ahra. Aku tidak akan mengingkari janjiku pada Ahra untuk melindungimu.”

Nara lebih siap sekarang. Ia mengunjungi The Evenue Park sesuai saran Daniel yang mengatakan Sehun sedang berada di sana. Paras cantiknya tampak tegar dengan polesan riasan tipis. Setelan formal yang membalut tubuh langsingnya menambah kesan serius yang ingin dibangun Nara. Ia memberikan tatapan tajam saat memasuki ruang kerja Sehun yang terletak di lantai dua. Melalui netranya Nara memindai pria yang hampir satu bulan tak pernah dilihatnya. Ada kerinduan dalam benak gadis itu terhadap pria yang kini menyita seluruh atensi.
Awalnya Sehun terkejut mendapati gadis yang memenuhi serebrumnya tersebut berada di sanaberdiri angkuh sembari mengamati. Seberkas perasaan lega serta antisipasi terajut menjadi satu sikap defensif yang dapat Sehun baca dari gerak tubuh Nara. Sehun sengaja membisu. Ia tak ingin memulai percakapan, kemudian mengakhirinya begitu cepat. Barang sebentar saja, Sehun ingin menatap Nara yang baik-baik sajakarena selama sebulan ini dalam benak Sehun sosok Jung Nara tergambar kesakitan dan menderitayang sialnya disebabkan oleh dirinya.

“Kau memberikan dokumen ini kepada ibuku, bukan?” Nara memulai perbincangan. Ia mengangsurkan map cokelat tersebut. “Kau mengancamnya menggunakan ini.”

“Aku tidak mengancam. Aku hanya memberikan opsi untuknya,” koreksi Sehun.

Nara tertawa mengejek. “Sehingga dia datang padaku

Bukankah kau yang selama ini ingin bertemu ibumu?” potong Sehun. “Banyak kesalah pahaman yang terjadi di antara kita, Jung Nara. Termasuk antara kau dan ibumu. Kalian memiliki sifat yang sama. Ia baru akan menemui jika aku membawa topik yang sensitif.”

“Kau melakukan itu agar aku bisa bertemu ibuku,” ulang Nara.

Sehun menghela napas. “Bukan hanya untukmu. Apabila Ahra masih berada di sini, tentunya ia ingin melihat kalian bersama.”

“Tidak, kau berbohong. Kau hanya ingin aku menyadari seberapa tidak berharganya diriku di mata ibuku. Kau ingin aku sadar bahwa aku hanya sebuah alat untuk ibuku,” sergah Nara. Ia berusaha menenangkan diri, ketika melihat kilatan murka dari Sehun. “Kenapa kau marah? Aku seharusnya yang lebih marah darimu, Oh Sehun.”

“Bisakah kau berhenti menyimpulkan tanpa mendengar penjelasan, Jung Nara?” tanya Sehun yang lantas membuat Nara bungkam. “Ibumu juga menyayangimu seperti caranya mencintai Jung Ahra dan Park Ryujin. Dia ingin berada di sisimu, namun di lain pihak tak dapat membebaskanmu dari perjanjian ini. Ibumu juga membaca catatan kesehatanmu bahwa kau memiliki kecenderungan untuk tidak bisa melahirkan bayimu karena permasalahan jantung. Han Haera ingin kau hidup aman dan normal. Saat aku bertemu ibumu dia memintaku untuk menjagamu karena menurutnya hanya diriku yang dapat memberikan kebebasan yang selama ini kau inginkan.”

Nara menggigit bibir. Ia menahan emosi yang saling memacu dirinya.
“Kau tidak perlu memikirkan dokumen itu. Aku akan mengurusnya,” Sehun berucap lagi. Tangan pria itu hendak menyobek kertas yang dulu dijadikannya sebagai senjata.

Nara menghentikan Sehun. Gadis itu mulai tidak waras ketika menyadari apa yang ia lakukan. “Aku tidak ingin menyelakai keluargaku karena enggan menikah denganmu.” Gadis itu menatap Sehun. Suaranya bergetar saat mengatakannya, “Menikahlah denganku Oh Sehun. Kita hanya perlu pura-pura menikah.”

-oOo-

Cerita ini juga dapat dibaca di twelveblossom.wordpress.com.
Twitter @.twelveblossom
Line@ @.NYC8880L untuk mengetahui passwordnya.

[Sehun Fanfiction] Dear Husband - ENDWhere stories live. Discover now