2

75 2 0
                                    


Wajahku langsung berhadapan dengan dagu yang sedikit ditumbuhi jenggot, rahang kotak yang tegas, bibir penuh yang seksi, hidung mancung, dan mata berwarna abu-abu yang sedang menatapku tajam.

Lelaki yang tadi satu lift denganku.

Dia menarikku ke sudut ruangan yang sepi. Memenjarakanku dengan tatapannya yang ...

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Oh, Tuhan. Lihat Jasmine, dia tampan sekali. Mata abu-abunya sangat indah. Bibirnya sangat seksi. Gue mau menciumnya Jasmine. Gue mau menciumnya sekarang.

Stt... jangan bodoh, apa lo gak lihat dia marah sama kita?

Ya, gue lihat ototnya. Ototnya sangat kencang, coba sentuh dia.

Aku menghentikan tanganku yang mulai melayang hendak menyentuh otot biseps lelaki itu.

Sialan. Melati sialan!

Lelaki didepanku mengerutkan kening. "Untuk apa kau ke sini?" Dia kembali mengulang pertanyaanya. Suaranya terdengar dingin dan tegas seolah aku telah melakukan kesalahan berat.

Tanyakan siapa namanya.

"Nam ... Eh, aku mau memberi undangan ke Pak William," kataku hampir saja menuruti perintah Melati.

"Kau tahu kalau tadi kau melakukan kesalahan?"

Aku menggeleng.

"Apa?" Aku balik bertanya padanya saat kudapati dia menilai penampilanku. Dasar sok sempurna.

"Apa resepsionis tadi tidak memberihukanmu kalau kau menaiki lift yang salah?"

Oh, karena itu. Apakah si cantik akan kena masalah?

Mengangkat bahu seolah tak peduli, kemudian aku berkata. "Aku pikir tadi dia mau memberitahuku soal itu, tapi dia lebih dulu mengangkat telepon dan aku langsung meninggalkan dia."

Dia memandangku seolah aku ini perempuan jalang yang sedang menjajahkan diri.

"Jangan memandangku seperti itu." Aku menyambarnya sebelum dia mengeluarkan kata-kata menyakitkan. "A-aku akan keluar dari sini setelah tugasku selesai. Jadi tak usah takut aku akan macam-macam."

Sudut bibirnya berkedut. "Bagus kalau begitu." Dia mundur selangkah, aku buru-buru mengalihkan pandangan dari tatapannya yang bisa membuatku sakit jantung. "Lift yang tadi kau naiki itu khusus tamu VIP, gunakanlah lift yang paling pojok yang tidak ada stikernya." Setelah itu dia berlalu pergi, meninggalkanku yang masih menempelkan tubuh pada tembok dengan tas tangan di depan dada.

Apa-apaan tadi itu!

Dengan rasa kesal, kuhentakan kaki menuju meja resepsionis. Di baliknya perempuan yang di beritahu si cantik bernama Dina memandangku bingung. Dapat ditebak, dia pasti melihat drama yang barusan terjadi. Mengingat jika mejanya berada tepat di samping lift yang dibilang tuan sok sempurna yang sebenarnya memang sempurna itu khusus tamu VIP.

Dia tersenyum, jenis senyum yang dipaksakan. Aku merasa jika senyumannya tidak setulus si cantik di bawah tadi.

"Dina, aku mau bertemu Pak William," kataku dengan tegas. Dia membulatkan matanya.

"Anda pasti Ibu Jasmine Cantika kan." Itu bukan pertanyaan karena Dina kembali berkata. "Anda sudah ditunggu di ruangan PresDir. Dan ngomong-ngomong nama saya Dian." Lagi-lagi dia menyunggingkan senyuman palsu yang menyebalkan. Senyumannya tidak dapat menyembunyikan tatapan tidak sukanya padaku.

Biarlah, toh aku juga cuma hari ini ke sini.

Dian membingbingku menuju ruangan di ujung lantai ini. setelah mengetuk dan mendapatkan ijin dari pemilik ruangan, dia membukakan pintu kayu berwarna coklat terang dan berukiran rumit yang di depannya bertuliskan Presiden Direktur. Kemudian berlalu pergi setelah mengulurkan tangan, memberi isyarat agar aku masuk.

Menghembuskan napas, aku bersumpah tidak akan ke sini lagi saat melihat si Tuan Sempurna sedang duduk santai di sofa besar abu-abu sambil menyilangkan kaki, jas hitamnya sudah ia tanggalkan menyisakan kemeja biru muda yang tangannya sudah digulung sampai siku.

Dasar tidak sopan, berpenampilan seperti itu di depan Presiden Direktur yang usianya jauh lebih tua dari dia.

"Ehem."

Aku mengerjapkan mata. Lelaki paruh baya yang tadi sedang duduk di depan si Tuan Sempurna sekarang sudah berpindah ke sampingku.

Sejak kapan?

"Kamu Jasmine?" tanyanya dengan nada lembut. Walaupun seluruh rambutnya sudah memutih dan kerut-kerut tanda usia yang sudah sangat matang terlihat jelas pada wajahnya. Aura jutawan dan sisa ketampanan di usia mudanya tetap terlihat.

"Iya Pak, saya Jasmine." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. "Saya ke sini untuk menyerahkan undangan."

Eh, di mana undangannya?

"Sebentar Pak." Aku merogoh tas yang kubawa.

Charger, ponsel, pulpen, pelembab bibir, body lottion, tisue basah, dompet, tapi kertas tebal berwarna emas dengan ukiran cantik itu tidak ada di sana.

"Kamu mencari ini?" Pak William menunjukkan benda yang tadi kucari tepat di depan wajahku. Bagaimana bisa undangan itu sampai ke tangannya?

Kuyakin wajahku sudah memerah sekarang. Nada geli terdengar saat dia berkata. "Gio yang menemukannya. Mungkin kamu tidak sadar telah menjatuhkannya tadi."

Gio? Siapa Gio?

"Itu, lelaki muda tampan yang sedang duduk di sana." Pak William menunjuk Tuan Sempurna setelah menyadari kebingunganku.

Kulirik Gio sekilas dan langsung mengalihkan pandangan setelah beradu tatap dengannya. Jantungku kembali berdetak kencang.

"Ah, silahkan duduk dulu, Jasmine. Kita berbincang-bincang sebentar."

"Aku harus pergi," kataku dengan kencang dan terlalu cepat. Pak William mengerutkan dahi saking kagetnya. "Saya harus bekerja setengah jam lagi." Ya, aku memang harus bekerja, tapi setengah jam lagi? Bahkan aku tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Yang jelas aku harus tiba di tempat kerjaku jam tiga sore.

"Baiklah. Titip salamku pada si berandal tua itu," maksudnya pada ayahnya Vania. "Aku akan mengajaknya memancing jika aku tidak sibuk."

Setelah basa-basi sebentar aku melangkah keluar, setelah sampai di depan pintu aku sempat melirik Gio dan mendapati dirinya sedang menatapku.


Hello. Mr PerfectWhere stories live. Discover now