Hinata tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan sikap keras kepala rekan kerjanya. Sakura terlalu terpaku pada sosok yang begitu jauh tanpa menyadari kalau sebenarnya wanita berambut gulali itu cukup populer dikalangan pria di Divisi Sales.

Ketika akhirnya Ino muncul sambil terengah-engah, mereka kembali melanjutkan langkah menuju Kafe yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor mereka.

...

I'm feeling like I'm famous

The talk of the town

They say I've gone mad

Yeah I've gone mad

But they don't know what I know*

Hinata mengalihkan atensinya ketika petikan senar gitar, serta suara berat dan serak itu terdengar. Mata peraknya menatap lurus pada seorang penyanyi jalanan yang akhir-akhir ini sering ia lihat.

Pemuda jangkung dengan kaos putih dibalut kemeja coklat kebesaran dan celana raped jeans. Topi hitam dengan tulisan 'Naru' juga menjadi salah satu ciri khas pemusik jalanan itu.

Hinata segera merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa uang dan menaruhnya di sebuah toples yang sudah setengah terisi. Ketika dagunya terangkat, matanya beradu pandang dengan sepasang mata biru laut yang dalam dan indah. Untuk sesaat Hinata tertegun, namun ia kemudian mengerjap ketika mendapatkan kedipan mata dari si pemuda.

Hinata mulai risih dan bergerak mundur. Ia tidak menyangka akan mendapat kedipan mata dengan senyuman jahil dari pemuda itu. Apakah pemusik itu menyadari dirinya yang kadang selalu memberi tips tiap kali mereka berjumpa?

Wanita itu menggeleng, mengenyahkan pemikiran konyolnya. Mungkin hanya kebetulan, atau memang sebenarnya memang begitulah sifat si pemusik. Hinata tidak mau ambil pusing, dan memutuskan untuk menyusul kedua temannya yang sudah lebih dulu pergi.

Hinata sama sekali tidak menyadari tatapan penuh arti yang diperlihatkan sang musisi jalanan. Terlebih ketika wanita itu memasuki Kafe, permainan gitarnya berhenti dan ia segera merapikan peralatannya dan pergi tanpa memedulikan desahan kecewa para penonton.

...

Usai jam kantor berakhir, Hinata pergi berbelanja di Supermarket terdekat yang ada di Distrik Konoha. Ia mengelilingi setiap sudut rak, menimbang perbandingan harga sebelum memutuskan yang termurah dan memiliki diskon.

Setelah membayar dua kantung besar belanjaan, Hinata barulah pulang ke rumah. Ia membuka pintu dari rumah berlantai satu dengan dinding berwarna ungu muda. Sebuah tipe rumah yang sudah sangat jarang terlihat di perkotaan.

Hinata menghela napas pelan setelah menaruh barang belanjaannya. Ia lalu melangkah menuju kamar dan melepaskan jas hitam serta membuka dua kancing teratas kemejanya. Helaan napas lega kini meluncur dari bibir tipisnya.

Setelahnya Hinata melangkah menuju dapur. Ia menguncir rambut sebahunya dengan karet dan menggulung lengan kemejanya. Wanita muda itu mulai mengeluarkan isi belanjaan dan menyiapkan bahan untuk membuat makan malam.

...

"Kami pulang!"

Seruan dari arah pintu masuk terdengar, Hinata menjulurkan kepalanya dari arah dapur dan tersenyum lembut. "Selamat datang." Ia lalu menghampiri dan membantu membawakan dua buah paper bag yang dijinjing Chiyo.

Nenek berusia hampir tujuh puluh tahun itu mendengkus pelan. "Seandainya saja kau memiliki mobil, mungkin kau bisa menjemputku dan punggungku tidak akan terasa sakit."

Hinata tersenyum tipis dan melirik adik perempuannya memperingati. "Bagaimana kabar Paman Hizashi?"

"Biasa saja, dia terus memasang senyum bodoh hanya karena Neji menikahi seorang gadis desa." Chiyo mengatakan dengan nada tidak suka, "Kau juga harus cepat-cepat menikah!" tutupnya sebelum melenggang memasuki ruang tamu.

Hanabi menatap punggung neneknya dengan sinis. "Dia sama sekali tidak berubah, malah semakin terang-terangan begitu!"

"Sudahlah, bagaimana sekolahmu?" tanya Hinata mencoba mengalihkan amarah adiknya. "Minggu depan kau mulai magang. Apa semua berjalan lancar?"

Hanabi mengangguk dengan senyuman lebar. "Sangat lancar! Aku tinggal berangkat minggu depan ke Tokyo untuk magang di Perusahaan Sabaku." Gadis berusia dua puluh tahun itu berkacak pinggang dengan wajah bangga. "Memiliki kakak dengan banyak relasi itu menguntungkan!"

Hinata tersenyum kecil dan mengacak pelan rambut Hanabi. "Sebagai gantinya, belajar dengan benar dan jangan membuat masalah di sana! Atau aku tidak akan punya muka untuk menemui Temari-san."

"Kau bisa memegang janjiku, Nee-chan!"

Hinata tertawa, agak meragu dengan sikap adiknya yang kadang suka mendatangkan masalah. Seminggu tidak ada adiknya, mungkin rumah kecil ini akan terasa sepi.

"Kenapa?" tanya Hinata ketika senyum adiknya kini lenyap dan wajahnya berubah masam.

"Sepertinya nenek akan menjodohkanmu dengan cucu temannya."

Hinata terdiam, ia lalu melangkah menuju dapur yang diikuti Hanabi dan duduk sembari menuangkan segelas air putih. Usai menegak air sampai tandas, Hinata mengurut pelan pelipisnya.

"Aku sudah bilang tidak ingin menikah--"

"Belum mau menikah." Hanabi meralat penuh penekanan. "Apa tidak ada seorang laki-laki yang menarik perhatianmu?"

Hinata hanya melempar senyum samar. Bukan tidak ada pria yang menarik, tetapi dirinya yang tidak tertarik. Wanita cantik itu melepaskan ikatan di rambut pendeknya lalu berdiri dan menepuk pelan pundak Hanabi.

"Ganti bajumu dan kita makan malam bersama."

Hanabi mendengkus pelan, kakaknya selalu saja kabur setiap membicarakan soal pernikahan. Sebenarnya Hanabi tidak menentang neneknya yang ingin menjodohkan Hinata. Namun beda cerita, kalau tujuan pernikahan itu bukan demi kebahagiaan kakaknya.

Continue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
Continue...
Maaf yah pendek, tapi semoga suka. Sampai jumpa sabtu depan hehe...

(*) jejak disclaimer: lirik bruno mars talking to the moon




Gamophobia Love Story [NARUHINA]Where stories live. Discover now