Chapter One

Mulai dari awal
                                    

Pram terkekeh mendengar pernyataan terakhir dalam pikiranku yang ternyata lolos begitu saja dari mulut tanpa kusadari. Sambil menatapku yang mungkin sekarang sudah agak terangsang dibawah sihirnya yang kuat, ia mendekati tubuhku yang terbaring di atas kasur lantai ruang televisi. Diposisikan tubuhnya diatasku dengan perlahan tanpa merusak kegiatan mengelus dan mengusap. Pasti karena di rumahku tidak ada seorangpun selain kami sampai Pram cukup berani untuk berbuat begini. Bibirnya mulai mencari telingaku kemudian berbisik lembut.

"Tadi aku tanya, kamu nggak nolak kan kalo aku minta imbalan apa aja?"

Aku sedikit membuka mata dan bertemu pandang dengannya. Yup! Dalam matanya yang sekarang sedikit berkabut tersimpan gairah tersembunyi yang belum pernah kulihat. Aku bingung. Tak tahu harus menjawab apa. Pijatan yang melenakan kenapa berubah menjadi sensual dalam sekejap? Aku tak berani buka suara. Yang kutahu, aku ngeri dengan pertanyaannya. Entah apa yang harus kukatakan. Kami tak pernah melampaui batas kesopanan ketika berpacaran. Tapi sekarang? Berduaan seperti sekarang ini membuatku sulit bernapas. Pikir, Dhania. Pikir!

"Kamu makin cantik kalo kayak gini, sayang. Aku penasaran, apa bisa lebih cantik lagi kalo aku sentuh disini?"

Tangan Pram sudah menelusup lewat celah celana pendek yang memang agak longgar. Ibu jarinya membuat pola lingkaran di paha dalamku. Hidungnya menghirup leherku yang membuka untuknya. Menyusul bibirnya yang mengecup leher dan telingaku dengan lembut. Aku menutup mata. Tak berani bergerak. Serasa membatu seketika. Namun dapat kuresapi sentuhan intim Pram yang baru pertama kali ini kurasakan. Aku berada di awang-awang. Desahan-desahan kecil keluar dari mulutku. Degup jantungku tertalu-talu. Ini baru bagi kami. Selama 1 tahun berpacaran, kami tidak pernah bermesraan lebih dari berpelukan, mencium pipi, dahi atau bibir. Aku tahu setiap lelaki memiliki kebutuhan dan fantasi liar terhadap wanitanya. Tapi Pram lain, ia tak pernah menyentuhku seperti gaya berpacaran anak muda zaman sekarang yang kelewat batas. Walau terkadang aku tergoda untuk sedikit mencoba hal baru ketika berduaan.

Ya. Tak dapat dipungkiri, aku memang sedikit penasaran dengan apa yang teman-temanku sering ceritakan ketika mereka berduaan dengan pacar. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Walau aku merasa malu sekali ketika suatu hari Silla, temanku sedari SMA, mengatakan bahwa Sammy suka meremas payudaranya ketika ber-french kiss. Atau ketika Agil, teman sekaligus tetanggaku dari kecil, mengatakan kalau Alisha selalu ketagihan ketika putingnya dihisap dan mendapati tanda merah membekas di payudaranya. Aku akan langsung menutup wajahku dengan tangan saking malunya. Telingaku panas mendengar mereka begitu blak-blakan mengungkapkan kegiatan intim yang dilakukan bersama pasangan mereka. Jika aku sudah begitu, mereka akan tersenyum jahil dan bertanya sudah sejauh mana aku dan Pram melakukan kontak fisik. Aku akan langsung melotot dan pecahlah tawa mereka setaraf suara mak erot. Dasar bocah- bocah mesum tak tahu malu!

Nah, sampai dimana kita tadi? Ahh..ya. Pram's magical hands. Sekarang jemarinya berada di selangkanganku, menelusuri pinggiran celana dalam. Menggodaku tanpa ampun.

"Aku pijat disini mau, baby? Ototmu yang disini pasti tegang." Bujuk rayu Pram membuat tubuhku bergetar.

Apa yang harus aku katakan? Aku ingin. Tapi juga tak ingin. Debar jantung yang semakin cepat membuatku ketakutan. Kami tidak boleh begini, kan? Bagaimana aku harus bersikap? Antara napsu dan logika memang tidak bersahabat, saudara-saudara. Tapi aku tahu malu. Malu dengan kegiatan pegang-pegang anggota tubuh yang terlarang macam begini, apalagi jika sampai dilihat secara langsung. Mau ditaruh mana mukaku jika Pram membuka bajuku. Membuka celana dalamku. Melihat...#&$%

NO!

Untuk menyebutkannya saja aku tak sanggup. Tolak atau terima? Kalau menolak bagaimana mengucapkannya tanpa menyakiti hati Pram? Sebaliknya, kalau menerima apa nanti aku akan dicap gampangan? Wanita murahan? Aarrggghh. Dilema.

Tanpa kuduga jarinya semakin berani menyentuh pusatku dari luar celana dalam. Mengesekkan jarinya tepat pada apa yang ada dibalik kain tipis itu. Aku tersentak. Getaran dari dalam tubuhku bertambah. Ini seperti bukan Pram.

"Mmhhhhh..aahh...aahhh...sayaang, jangaaan...aakkhhh..ahhh..."

Bodoh! Apa sih mauku? Kenapa menolak tapi juga mengerang secara bersamaan? Duh! Aku merutuki diri sendiri. Kenapa kata-kataku tidak jelas begitu, sih?

Responku tak digubris oleh Pram. Adrenalinku berpacu, perasaan geli bercampur nikmat menjadi satu ketika fokusku teralihkan karena jemari Pram. Peningku meningkat sampai ubun-ubun, wajahku memanas yang kuyakini pasti juga memerah. Ya Tuhan, terima kasih Engkau menciptakan tangan Pram yang begitu kurang ajar namun memabukkan ini.

Eh?

Terima kasih?

Hey Dhania, wake up! Ini jelas harus dihentikan. Salah satu diantara kalian harus ada yang pakai logika disini. Sedangkan Pram sudah tak bisa diharapkan.

"Pr..Pram, ak..aku kebelet pipis."

Pram sontak mengangkat kepala.

Mampus!

Ia memandangku terpana.Tangannya berhenti seketika. Dipandanginya aku dengan serius. Kabut yang semula menaungi kedua matanya sedikit demi sedikit memudar. Aku tak bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Pram terlihat, entahlah, kecewa? Lalu dengan mengejutkan, tangannya keluar dari celana pendekku. Aku tak buang waktu berlama-lama, langsung saja kugeser tubuhku dari Pram yang juga bergerak untuk membuka ruang bagiku. Dia duduk ke samping sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan. Aku berdiri lalu cepat-cepat menuju ke kamar mandi.

Damn! What was that?

Sampai di balik pintu kamar mandi kusandarkan tubuh lalu jatuh terduduk. Aku lemas. Masih ada sisa debaran jantung yang tertinggal. Kucoba atur napasku dengan perlahan. Tarik napas. Hembuskan. Tarik lagi. Hembuskan. Terus begitu sampai aku sadar bahwa aku tidak berakting dengan meyakinkan. Cepat-cepat kutekan tombol flush toilet sampai guyuran air terdengar. Tanda untuk Pram kalau aku benar-benar menunaikan kewajiban buang air kecil supaya ia tak curiga atau merasa kesal karena harus kuinterupsi. Yang Pram tak tahu, aku sengaja melakukannya karena aku tak siap. Atau tak akan pernah siap mungkin? Entahlah. Aku sekarang pusing harus bagaimana menghadapinya di luar sana yang menunggu. Pasang muka badak? Itu bakat Silla. Pura-pura tidak terjadi apa-apa? Well, i know. Cuma Agil yang bisa! Haaahhh. Sudahlah, Dhania. Pura-pura mati saja!

Dengan berdebar sekaligus mencoba pasrah, kuberanikan diri membuka gagang pintu untuk menghadapi priaku.

~~

Trapped by YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang