Bagian Satu: Pesawat Pagi Itu

2.3K 194 4
                                    


Seperti biasa, segalanya tersusun dari kebetulan demi kebetulan.

Sangat sedikit fragmen hidup yang benar-benar terjadi sesuai rencana yang semestinya. Hubungan yang berakhir, waktu tidur yang seharusnya cukup tapi ternyata kau tetap terjaga hingga pagi, atau pesawat yang seharusnya berangkat pukul enam-tiga puluh tapi ternyata kau harus terdampar di bandar udara hingga satu jam kemudian.

Sebuah penerbangan mengalami kecelakaan delapan belas jam yang lalu, berita dukanya masih memenuhi layar media. Aku tak bisa menyebutnya kemarin, sebab tanpa tidur kau juga pasti akan merasa ini seperti hari yang sama. Hening pagi hanya berbaur dengan derai hujan, ribuan tetes air yang jatuh bersamaan dengan begitu monoton. Ruang tunggu sunyi, orang-orang masih terlalu takut untuk melakukan perjalanan udara. Namun beberapa maskapai pesawat akan tetap terbang di tengah cuaca yang begitu buruk.

Kecuali pesawatku.

Harga kopi di konter ruang tunggu begitu mahal.

Kusandangkan gitar di bahu dan kuseret koperku keluar. Mesin jual otomatis di luar hanya menerima pecahan lima ribu rupiah, dan di sana tak ada kopi. Dua lembar di dalam saku jaketku akan cukup untuk sebotol teh. Kusisipkan kedua-duanya di lubang mesin, tetapi tak perlu menunggu lama sebelum benda itu mengeluarkannya lagi. Mungkin uangnya terlalu lusuh.

"Di sini airnya gratis."

Laki-laki itu sedang menutup botol minuman, lalu menunjuki keran air minum di sisi mesin. Ia berseragam; kemeja putih dengan logo di lengan dan strip di bahu, serta celana biru gelap. Jelas sedang bicara padaku, aku satu-satunya yang ada dalam radius jangkauan suaranya. Setelah itu ia membungkuk. Air minum dari keran pun mengucur ke dalam mulutnya yang membuka.

"Silakan."

Ia menyeka mulut dari air yang masih menetes di sana, kemudian menyingkir untuk memberiku tempat. Aku terlalu haus hingga tak sempat berterimakasih sebelum membungkuk di keran.

Ia masih berdiri di situ hingga aku selesai minum.

"Terima kasih," ucapku, dengan air yang belum sepenuhnya turun dari tenggorokan dan membuatku tersedak. "Mesin vending tidak mau terima uangku."

"Sombong sekali, ya?" Ia mengitari punggungku hingga tiba di depan mesin, dan mengamati botol minuman yang berbaris-baris di balik kaca. "Teh botol atau soda?"

Kurasa, ia terbiasa melakukan ini pada semua orang. Uluran tangannya leluasa dan halus, dengan gurauan ringan yang mungkin akan membuat orang lain tertawa. Aku saja yang menganggap ini asing dan canggung. Berbicara sebanyak ini, sepagi ini, pada orang tak kukenal. Dan aku hampir tak pernah percaya akan bantuan asing yang tak mengharapkan apapun.

Namun kuletakkan dua lembar uangku di telapak tangannya. "Teh botol."

Ia mengusap lembaran itu hingga lurus sebelum memasukkannya ke lubang mesin. Lembar yang pertama bahkan keluar lagi sebelum benar-benar masuk.

"Tidak apa-apa, kok," tukasku, malu karena sudah menyusahkan. "Aku beli kopi di konter ruang tunggu saja."

"Jadi, sebenarnya kamu mau kopi?"

"Ya, tapi--"

"Vending yang di gate dua punya kopi."

Yang berikutnya kusadari adalah tiba-tiba kami sudah berjalan bersama menyusuri koridor terminal yang sepi. Laki-laki asing itu hanya dua langkah jauhnya. Gerbang keberangkatan yang ia maksud bahkan lebih sepi, baru saja ditinggalkan para penumpang dan belum didatangi oleh penumpang penerbangan berikutnya. Sebuah mesin jual otomatis tegak di sisi pintu kaca.

Seluruh lampunya padam. Kertas hasil cetakan komputer yang ditempel di kacanya tertulis dengan jelas; out of order.

Kami bertatap-tatapan dengan pasrah.

"Maaf," ucapnya.

Aku tak ingin memperpanjang ini lagi. Itu bukan salahnya, dan aku sudah tak keberatan, dan yang kuinginkan di sisa pagi ini hanya kesunyianku yang biasa. Ia tahu itu. Ia tahu setelah ini aku akan menyeret koper kembali ke terminalku, dan membiarkan pagi itu berjalan sepi seperti pagi-pagi yang lain. Namun mungkin itu sebabnya ia segera berujar, "Pesawatmu masih lama, kan? Tunggu di sini. Sebentar. Oke?"

Oh, ia sungguh tak perlu melakukannya--apapun itu yang ia hendak lakukan. Kami tak saling kenal dan ia tak berhutang apa-apa. Aku juga tak menginginkan apa-apa dari dia atau siapapun saat ini. Kecuali secangkir kopi, mungkin. Namun upaya untuk mencegahnya akan lebih melelahkan dan mungkin bahkan tak akan berhasil.

Aku tak perlu menunggu, pikirku. Dan bila ia tak kembali dalam lima menit saja, aku akan pergi dengan harapan tak perlu melihat orang itu lagi.

Namun, lima menit terasa sungguh lama hanya untuk kulewati dengan menatap tetes-tetes air yang monoton di luar kaca jendela terminal. Ini sungguh bodoh dan sia-sia, dan aku tak berjanji apa-apa pada orang itu. Maka aku pun berbalik, menarik tali sarung gitar di bahu dan melangkah pergi.

Ia tiba di sana hanya beberapa detik sebelum aku menyadarinya, tepat sebelum aku berbalik--dengan dua cangkir kopi di tangan yang tiba-tiba telah jatuh dan tumpah di lantai oleh ayunan lenganku. Cairan hitam berhamburan kemana-mana, membasahi sepatu kami, menodai seragamnya yang putih bersih.

Aroma kopi yang masih panas dan mubazir itu menguar hingga ke setiap sudut terminal.

*


Sembilan Puluh MenitWhere stories live. Discover now