Sebuah Pengakuan

2 0 0
                                    

Kadang kita tak butuh banyak harta, tapi nyatanya keberadaanmu tak dianggap ada. Ya, tak lebih baik dibandingkan angin yang setidaknya dapat dirasa meski tak mampu dilihat. 

"Ais, bangun nak. Sudah saatnya sholat subuh." Beberapa kali wanita paruh baya itu menggoyangkan tubuh gadis mungil yang tampak begitu nyaman memeluk guling diatas kasur empuk bersprei merah muda dengan sedikit hiasan bunga. 

"Ayo Nak, subuh dulu. Nanti kesiangan." Ucap wanita paruh baya tadi, kali ini sambil menciprati wajah gadis tadi. Dan berhasil, gadis tadi mulai terusik dari tidurnya. Dia menggeliat dan mengumpulkan kesadarannya. 

"Iya bunda, ini Ais bangun". Ucap Ais masih mengucek matanya sesekali. Tapi alangkah terkejutnya dia, karena ternyata ia sedang sendirian di kamarnya. Tertidur masih dengan seragam kerjanya. Jorok memang tapi apa boleh buat semalam ia terlalu lelah. Dia masih mengedarkan pendangan ke sekeliling tapi memang dia sendirian. Tak terasa air mata menetes perlahan, ya dia sangat rindu akan almarhumah bundanya. Dan sejujurnya ini titik dimana dia juga sangat merasa kesepian. Allah Maha Baik, setidaknya mimpi tadi mengurangi sedikit kesedihannya. 

"Dasar anak tak tahu diri. Itu anakmu Pak, jam segini belum bangun. Pantas saja tak ada yang mau jadi suaminya. Anak perempuan kog pemalas." 

Teriakan ah tepatnya bentakan wanita baru yang kata Ayahnya dibilang ibu sambung itu langsung membuatnya bergegas bangun. 

Tak terdengar jawaban dari Ayah. Batin Ais mulai bergejolak, betapa tidak? Biasanya juga dia yang paling pagi bangunnya dan menyiapkan segala keperluan keluarga, memasak, mencuci, menyapu, sedangkan nyonya besar baru bangun jika jam sudah menunjukkan jam 06.00 pagi dan kemudian beraktivitas menyiapkan keperluan anak bawaannya sekolah dan setelahnya duduk diam di depan tv. Apa salahnya jika ada sedikit pembelaan. Bukan karena ia ingin mencari pembenaran atas kesalahannya bangun kesiangan, tapi tak bolehkah ia ingin ada yang bersikap adil untuknya. 

Aah, pagi yang haru kini berubah mendung lagi. Mood Ais sudah jungkir balik. Dan itu sangat mempengaruhinya. Kini ia begitu sensitif saat ada rekan kerja yang melakukan sedikit saja kesalahan. Dan ya, tidak ada seorang pun yang nyaman dengan kondisi demikian, apalagi seluruh partner kerja Ais adalah makhluk yang selalu mengedepankan rasa daripada logika. Dan akhirnya kini ia harus dipanggil langsung oleh Direkturnya. Entah apa yang terjadi, mungkinkah dirinya akan dipecat meski baru sebulan bekerja disini. 

Next

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 28, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Strong GirlWhere stories live. Discover now