Kereta Kencana

597 72 52
                                    

Aku tidak pernah berbohong dengan apa yang terjadi di kampungku, aku benar-benar mendengarnya setiap malam, bahkan seluruh tetanggaku pun mendengarnya.

Awalnya aku mengira suara lonceng dari delman yang lewat di depan rumahku hanya kereta kuda biasa, ya, kami sudah biasa mendengar derap kuda yang bertubrukan dengan aspal itu. Tetapi kejadian akhir-akhir ini malah terasa ganjil, entah sudah berapa orang tewas karena kecelakaan di belokan dekat jembatan kampungku. Jalan di sana memang rawan, belokan jalan itu cukup tajam hingga tidak sedikit pengendara motor terjatuh, terpelanting, dan mencium aspal yang kasar dan keras itu. Kebanyakan mereka tewas di tempat hingga darah sering membanjiri jalanan yang panas itu, bahkan beberapa mobil pribadi pun sempat terbalik dan penyok karena menabrak pohon mangga di dekat belokan itu.

Desas-desus pun bermunculan, orang-orang mulai curiga jika ringik kuda serta lonceng yang terdengar setiap malam itu berhubungan dengan banyaknya kecelakaan bulan-bulan ini. Mereka berkesimpulan jika kecelakaan di kampungku adalah tumbal dari pesugihan.

Rumornya kereta kencana itu bisa menjemput siapa pun hingga orang-orang tidak berani keluar rumah selepas pukul delapan malam.

Malam semakin pekat karena kumpulan awan tebal serta-merta menutupi rembulan di angkasa sana. Aku mulai menggigil karena angin kencang yang datang, tidak hanya aku, bahkan api obor yang terpasang di setiap rumah untuk malam Halloween ini pun menari-nari karenanya.

Entah ini hari sialku atau apa karena sore tadi motorku masuk bengkel, padahal malam ini aku harus mengikuti kontes kostum di gedung olahraga kampusku. Ya, mau bagaimana lagi aku pun harus berjalan kaki mengambil motorku di bengkel dekat jembatan itu.

Ah, padahal aku sudah berias habis-habisan, tetapi aku harus melewati pohon mangga dekat belokan jalan itu. Biarlah, aku tidak peduli pada penampilanku yang mungkin saja mengejutkan orang lewat. Bagaimana tidak? Rambut panjangku sudah awut-awutan, wajahku seperti ditemplok semen putih saja, mukaku pun sudah terasa kaku karena masker bengkoang yang kupakai sudah kering dari tadi hingga retak di mana-mana, bahkan aku rela mengoyak daster putih yang baru kubeli, padahal barang baru, tetapi lumpur di dasterku membuat baunya sedikit menyengat, bahkan telapak tanganku masih merah karena pewarna makanan yang aku pakai di bagian punggung dasterku.

Aku termenung saat mencium sesuatu, alih-alih bau kemenyan, aku malah mencium bau kembang yang menyengat di belakangku. Telingaku tiba-tiba berdenging, tengkukku pun meremang saat mendengar ketiplak kuda dan lonceng khas delman.

Sungguh aku tidak menyadari jika di sampingku tahu-tahu ada kereta kencana.

"Nyai mau ke mana? Mau diantar?"

Aku menoleh pada wanita cantik di kereta kuda berlapis emas, rambut hitamnya menjuntai indah, dan kebaya berselendang hijaunya begitu menawan dengan mahkota yang dia pakai.

"Diantar siapa?"

"Saya. Tapi jangan cerita-cerita. Kalau Nyai bercerita tentang pertemuan kita, Nyai dan orang itu akan saya bawa."

Tanpa sadar aku menelan ludah saat melihat kuda delman itu tidak memiliki kaki.

Ah, bukankah kamu baru saja membaca pengalamanku? Berarti dia juga akan menjemputmu seperti aku yang telah pergi dari dunia ini sejak empat puluh hari yang lalu.

TAMAT

Kereta Kencana #DiantarSiapaWhere stories live. Discover now