Prolog.

887 118 11
                                    


Jakarta,  2018.

Di antara kilauan medali yang melingkar di leher;  baik bersama teriakan sorak gembira dari manapun rasanya tak sebaik biasanya. Hentakkan setiap tangan menuju pundak rasanya begitu kaku, hampa tanpa rasa.

Batas itu semakin mencuat. Jarak itu semakin menengah. Dan kita ada di setiap sisinya. Nyatanya perasaan yang terpendam ini semakin dalam; semakin tak tahu malu menuju daratan. Perasaan ini semakin kokoh sekaligus rapuh, bersamaan dengan batasan yang menjulang dan Aku yang tak mampu menggapainya.

Hingar bingar tak terelak, suara petasan penyambut kemenangan semakin memekak. Berbagai macam ekspresi turut hadir menemani. Diriku bahkan tak sadar entah berapa kali tubuh ini terombang-ambing ke dalam pelukan entah siapa. Berlakon sebaik mungkin agar segala kegundahan tertutupi. Terus merapal syukur pada apa yang didapat walau nyatanya terasa seperti satu imaji semu.

Kita di satu tempat yang sama, di dalam situasi yang sama. Tapi tidak dengan diri kita. Seakan perlahan menjauh, dan hilang bagai dihembus angin.



"Thon, lo Tahu? Cuma lo yang gue harap. Setidaknya peluk gue, kayak biasanya."

.
.
.
.

Mencoba berlayar di kapal lokal, Jonatan x Anthony. Mereka uwu banget ya, kok bareng mulu sih :')))).  Ah, ini baru prolog. Kalau ada yang baca bakal lanjut hehehe. :)

DOKTRIN Onde histórias criam vida. Descubra agora