CHAPTER 1

20 4 2
                                    

Malam ini bukanlah malam Jumat Kliwon dimana para hantu, roh gentayangan dan arwah penasaran biasa hang out bareng menikmati indahnya jeritan manusia yang berhasil mereka takut-takuti. Tapi entah mengapa, malam ini terasa begitu dingin dan sepi. Sangking sepinya, aku merasa angin tak punya pilihan lain, hanya aku satu-satunya manusia yang bisa ia terpa. Dingin.

Hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kota dimana aku sekarang berkuliah. Tugas yang sudah mendekati deadline-lah yang membuatku berada di depan perpustakaan tua ini. Ehm. Bukan karena aku penakut, hanya saja memang suasananya cukup seram. Perpustakaan ini adalah perpustakaan tua dan besar. Sebagian besar bangunannya masih terbuat dari kayu. Entah mengapa tidak ada yang berinisiatif untuk memperbaharui tampilan gedungnya. Jika bukan karena bukunya yang sangat lengkap, perpustakaan ini pasti sudah lama tak memiliki pengunjung.

Penerangan yang minim -hanya ada satu lampu redup tepat di atas pintu masuk- membuat dinding-dinding kayunya semakin terlihat suram dan gelap. Bagian bawah dindingnya bahkan berwarna hijau gelap menjijikan, warna khas lumut. Lembab. Pasti juga lengkap dengan makhluk-makhluk kecil penyuka tempat lembab yang menggeliat-menggeliat di bawah sana. Banyak pohon di sekitar bangunan perpustakaan ini. Jika pagi hari, maka akan terlihat rindang dan segar sekali, tetapi tidak di malam hari. Bunyi berderit dari ranting-ranting yang menggesek tembok kayu seolah menunjukkan ada makhluk tak kasat mata yang sedang mengintipmu.

Pintu dan jendela yang besar dan tertutup rapat memberi kesan seolah itu adalah gedung tak berpenghuni. Tapi percayalah, sungguh, di dalamnya benar-benar ada ribuan buku yang bisa membuatmu mengetahui tentang dunia dan masa lalu. Angin yang bertiup lumayan kencang malam ini membuat daun-daun kering di halaman perpustakaan berterbangan kesana kemari menimbulkan bunyi serasah. Terkadang justru terdengar seperti sesuatu berjalan di atas daun-daun kering itu.

Kusandarkan sepedaku di salah satu sisi luar gedung usang ini. Aku melangkah masuk melewati pintu tua yang berderit saat kudorong. Seorang nenek sihir versi millenium menyambutku dengan matanya yang dingin di balik kacamata bulat yang terus melorot dari hidungnya yang kecil -kalau tidak mau disebut pesek- dan diapit oleh kedua belah pipi yang kendor dan keriput. Dia memandangiku seolah aku ini tikus pencuri keju! Menyebalkan sekali!

Aku yakin pustakawan itu bertubuh pendek karena dia nyaris tenggelam oleh tumpukan buku di atas mejanya. Aku berjalan melewatinya, meliriknya dan menyapanya dengan senyumku yang canggung. Dia hanya menyeringai sinis. Aku bisa melihat tubuh gemuknya yang lumer seakan-akan nyaris menyatu dengan kursi yang ia duduki. Jangan-jangan dia tidak pernah beranjak dari kursinya. Rambutnya yang keriting dan berwarna perak semakin menambah kesan kelabu pada perpustakaan yang suram ini. Kompak sekali mereka. Seolah-olah pustakawan dan perpustakaan ini sama tuanya.

Aku pergi sejauh mungkin dari pandangan pustakawan tua itu, kemudian aku berkeliling mencari buku-buku yang kuperlukan. Lemari dan rak buku di ruangan ini sungguh bergaya tua dan terkesan angker. Jauh dari kesan mewah dan moderen. Semuanya terbuat dari kayu berwarna coklat gelap. Aku yakin meski gedung ini runtuh, lemari-lemari itu akan tetap berdiri tegak karena mereka tinggi, besar dan kokoh.

Setelah mendapatkan apa yang kucari, aku menuju sebuah meja di sudut ruangan. Lagi-lagi meja kayu yang sangat besar. Meja persegi panjang dengan lebih dari duapuluh kursi di sisi-sisinya. Aku duduk di salah satu kursinya. Di belakangku ada sebuah lemari besar yang tergembok. Mungkin isinya adalah buku-buku dari zaman dinosaurus masih exist. Di sebelah kiriku ada jendela-jendela kayu yang besar dan tinggi. Semuanya tertutup. Bukan hanya tertutup tetapi juga dipaku! Aneh. Semua jendela yang kulihat dikunci mati dengan paku tetapi tidak sedikitpun aku merasa gerah.

Baru kusadari tidak ada pengunjung lain malam ini. Aku seorang diri. Kemana semua orang yang begitu ramai jika siang hari. Aku melirik jam tanganku. Pukul tujuh lewat tigapuluh menit. Pantas saja, aku tidak pernah datang kemari pada waktu seperti ini. Jika tidak terpaksa, berbaring di kasurku tentu lebih menyenangkan. Ah, sudahlah. Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak lebih baik aku mulai mencatat materi yang aku perlukan.

Aku baru membaca tiga halaman, ketika tiba-tiba aku merasa ada sejuta laba-laba merayapi leherku. Membuat bulu-bulu di tengkukku berdiri. Aku bergegas menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun. Hanya lemari raksasa yang seandainya bisa bicara mungkin ia akan mengejek raut ketakutan yang terpancar dari wajahku. Aneh. Aku merasa ada seseorang dibelakangku.

Aku merasa sedang diawasi.

Oleh siapa? Entahlah.

KEMBALIWhere stories live. Discover now