BAGIAN 1: KEMATIAN PERTAMA

684 25 2
                                    

“PRANG!!!” Suara mengejutkan itu muncul lagi. Aku sudah mendengarnya lebih sering selama berbulan-bulan ini. Papa membanting mangkuk di meja. Lagi…

Aku merasa lapar. Aku berjalan ke meja makan. Perkelahian sengit dan dorong-mendorong antara papa dan mama belum juga berakhir. Aku menyisipkan tubuh kecilku di antara mereka yang sedang bergumul fisik dengan hebat. Sayup-sayup ku dengar mama merintih, “Tolong…”

Aku terdiam, menatap wajah kisut mama yang terkapar di lantai. Papa sedang berusaha menghunjamkan sebilah pisau dapur ke dada mama. Mama menahannya dengan sekuat tenaga. Ia melihatku dengan penuh ketakutan. Selain takut mati, ia takut dengan apa yang akan ku lihat di usia ku yang baru delapan tahun…

            Abel berhenti sejenak dari kenangan masa kecilnya. Ia baru menceritakannya sepotong pada sahabat sejak masa SMUnya, satu-satunya yang tahan dengannya. Ia mendesah beberapa kali di hadapan Gery. Gery memandangnya dengan terpaku. Dengan mulut setengah menganga. Gery masuk ke universitas yang sama dengan Abel. Juga fakultas yang sama. Bahkan di kelas yang sama. Mereka sama-sama mengambil jurusan Seni Peran. Baru sebulan yang lalu mereka selesai menjalani masa plonco. Meskipun demikian, secara tidak langsung, mereka masih saja jadi korban plonco para senior yang entah mengapa, seperti memiliki kreativitas yang kurang tersalur dan menyalurkannya pada anak-anak baru…

Gery mengacak-ngacak rambut bagian depannya masih dengan mulut menganga. “Trus… lo… lo bertindak apa… nyokap lo genting begitu…”, tutur Gery dengan raut setengah ngeri.

Abel mengekeh. “Did nothing at all…”

            “Ah???”

Abel masih dengan nyamannya, menghamparkan dirinya dengan posisi terlentang di atas rerumputan taman kampus. “Saat itu gue masih kecil…”, mulai Abel menjelaskan. Tapi dengan tak sabar, Gery memotong, “Gak sekecil itu kaleeeee…”

            “Gue cuma bingung dengan apa yang gue liat…” Abel memejamkan mata elangnya dalam-dalam. Meski ia seorang perempuan tulen, penampilannya selalu terlihat maskulin. Potongan rambutnya sangat pendek. Ia juga mengecat rambutnya dengan warna merah menyala.

Tak ada yang meragukan parasnya yang cantik. Tapi penampilan eksentriknya membuat para lawan jenisnya “emoh” menjadikannya pasangan. Tapi sebagai teman jalan, Abel di kenal sebagai orang yang “asik”. Banyak yang menyangka kalau Gery adalah pacarnya. Tapi Gery sendiri adalah laki-laki flamboyan yang menggemari pedicure-medicure. Abel sendiri ragu kalau Gery itu tertarik dengan perempuan. Perempuan “sungguhan” yang tidak berpenampilan aneh seperti Abel.

Abel memiliki beberapa tato di punggung kanannya dan di pinggul kirinya. Ia juga hobby dengan tindik anting di sana-sini. Sudah ada dua anting-anting di atas alis kanannya, satu di cuping hidung kirinya dan satu di bawah bibirnya.

            “Trus, trusss, trussss…” Gery tampak menunggu Abel meneruskan kisahnya.

Abel melirik pada mata bulat Gery yang cantik. Lalu menebar senyum simpul penuh misteri.

“Mereka berhenti sendiri, waktu gue pecahin mangkok lainnya di depan mereka”, lanjut Abel.

            “Hah?” Gery masih terpana. “Trus, truss, truss…”

Abel terkekeh. “Lo kayak tukang parkir.”

            “Iya, whatever! Truss, trusss…” Gery mengacak-ngacak rambut di bagian depannya lagi. Wajah tembamnya yang putih berseri tampak memerah terkena sinar matahari menjelang siang bolong.

            “Mereka kaget.” Abel meneruskan. “Tersadar gue ada di situ. Bokap berhenti nyerang nyokap.”

            “Trus, truss, trusss… lo ngapain?”, tanya Gery dengan penasaran.

Sisi LainWhere stories live. Discover now