“Asyik, mie goreng!” kata Madina.

“Radina mana?” tanya ayah Radina.

“Lagi mandi,” jawab ibu Radina.

“Tunggu sebentar lagi,” kata ayah Radina.

“Ah, Papa! Laper nih mana wangi banget mienya!” kata Madina.

Tidak lama kemudian Radina muncul di ruang makan dan akhirnya mereka berlima bisa menyantap hidangan makan malam. Nalani rasanya senang sekali dengan hanya memakan mie buatannya sendiri. Rasanya berbeda dengan mie yang biasa ia buat sewaktu tinggal di rumah orang tuanya, mungkin karena perbedaan kualitas bahan makanan.

“Enak banget lah ini! Kenyaaaang,” kata Madina saat selesai makan.

“Bi, Bibi! Udah beres, nih!” panggil ibu Radina.

Bi Muas muncul dan beliau merapikan piring kotor di atas meja makan.

“Bi, mie gorengnya enaaaaak banget,” kata Madina.

“Mbak Nalani yang buatnya, bukan saya,” kata Bi Muas.

Semua orang terdiam. Nalani sendiri acuh tak acuh, ia malah pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil lalu ke kamarnya yang terletak di samping kamar Radina.

***

Sejak saat itu Nalani jadi rajin memasak di dapur dan menyiapkan makan malam, bahkan makan pagi karena Nalani bangunnya cepat. Hanya satu hal yang menjadi kebiasaan Nalani saat memasak, ia selalu diam dan tidak bicara.

“Mbak, aku boleh ikut masak gak?” tanya Madina.

Nalani mengangguk lalu Madina duduk di sampingnya sambil memotong sayuran.

“Mbak, Mbak masak yang Mbak idamin ya?” tanya Madina.

Nalani menggeleng.

“Mbak ngidam gak sekarang?” tanya Madina.

Nalani menggeleng lagi.

“Kalo Mbak ngidam apa-apa, bilang sama aku ya biar aku yang beliin,” kata Madina.

Nalani mengangguk.

“Mbak kok masih kurus ya? Mbak minum obat dari dokter, kan?” tanya Madina.

Nalani mengangguk. Tiba-tiba ia merasa mual dan kemudian ia pun ke kamar mandi untuk muntah. Hampir setiap hari ia muntah, migrain, dan mudah lelah padahal ia hanya memasak dan belajar seadanya.

“Mbak, Mbak istirahat aja mending,” kata Madina.

Nalani kembali duduk di kursi dapur. Wajahnya memucat.

“Ma! Mama! Mbak Nalani sakit nih, bawa ke dokter aja,” kata Madina.

Ibu Radina muncul di dapur.

“Nalani, periksa kandunganmu lagi ke dokter. Bulan kemarin kan dokter bilang hati-hati sama kandungan kamu,” kata ibu Radina.

“Iya, Bu,” kata Nalani.

“Biar Radina yang antar supaya dia tau apa yang terjadi sama kamu. Tunggu Radina pulang sekolah,” kata ibu Radina.

Nalani mengangguk. Madina justru mengipasi Nalani yang duduk di kursi dapur.

“Mbak, Mbak bisa tahan gak? Kalo nggak sekarang aja ke dokternya,” tanya Madina.

“Nggak apa-apa, kok,” jawab Nalani.

“Aduuuuh, Mbak ini kenapa sih?! Pas baru aja aku deketin, Mbak malah sakit. Aku kan mau minta diajarin masak. Mbak gak mau aku deketin ya?” tanya Madina.

“Bukan gitu,” jawab Nalani.

“Aku tuh kan bawa kue yang Mbak Nalani buat kemaren. Terus kecengan aku bilang dia suka banget kuenya, katanya lebih enak daripada yang di toko. Aku mau minta Mbak Nalani untuk buat lagi sekalian ajarin aku. Eh, Mbak Nalani malah sakit.”

“Nggak apa-apa, kok. Cuma muntah gini udah biasa. Mau masak kuenya?”

“Besok aja deh, hari ini Mbak ke dokter aja. Bahan-bahannya apa aja sih?”

Nalani menuliskan resep kue coklat yang ia jadikan eksperimen di catering dan ternyata kuenya banyak disukai. Madina pun dengan semangat menerima resepnya dan memeluk Nalani dengan erat.

“Kalo gini aku pasti bisa ngerebut hati si Kafka!” seru Madina.

Nalani tersenyum, iri dengan betapa indahnya bersekolah seperti biasa dan betapa indahnya masa SMP Madina yang disertai dengan kisah cinta monyet.

 Begitu Radina sampai di rumah, ibu Radina segera memerintahkan anak lelakinya itu untuk menemani Nalani ke dokter kandungan tidak pada waktu yang biasanya. Radina mengeluh keras, namun akhirnya ia menemani Nalani ke dokter juga. Ia bahkan ikut masuk ke dalam ruangan dokter. Biasanya ia menunggu di luar ketika Nalani memeriksakan kandungannya.

“Halo, Nalani. Sudah baikan?” tanya Dokter Samuel.

“Sepertinya belum, Dok,” jawab Nalani.

“Ayo kita USG. Suaminya Nalani juga liat ya,” kata Dokter Samuel.

Nalani tegang ketika suster membantunya untuk mempersiapkan diri. Radina sendiri tidak berminat untuk melihat hasil USG.

“Nah, yang ini anak kalian,” kata Dokter Samuel sambil menunjukkan sebuah buntalan yang ada di monitor.

Terdengar suara detak jantung si bayi. Nalani merasa tersentuh ketika mendengarnya dan hatinya menjadi tenang. Berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu, namun rasa tenanglah yang menang. Begitu USG selesai, Dokter kembali memberi 'wejangan' pada Nalani.

“Nalani, saya khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa kamu. Detak jantung janinnya tidak normal dan kesehatan kamu juga tidak cukup baik. Saya selalu ingatkan untuk jangan banyak pikiran. Saya tau menjadi ibu muda seperti kamu ini sulit, tapi sebaiknya hilangkan stres kamu dan pikirkan kesehatan bayimu. Nah, suaminya harus memerhatikan Nalani lebih baik ya. Sebaiknya Nalani dirawat saja,” kata Dokter Samuel.

“Saya nggak mau,” kata Nalani.

“Ini demi kesehatan kamu dan janin kamu. Tubuh kamu underweight dan kamu pun hamil di usia semuda ini. Pokoknya kamu dirawat sekarang,” kata Dokter Samuel.

Radina tak acuh. Ia diam saja dan menuruti apa kata dokter. Nalani dirawat di sebuah kamar VIP sehingga ia tidak punya teman sekamar untuk dicurhati atau setidaknya diajak  bicara meski hanya sedikit.

Radina terlihat tidak peduli saat perawat memasangkan infus di tangan Nalani dan malah menelepon temannya kalau ia tidak bisa pergi ke tempat tujuan malam ini.

------

tungguin chapter selanjutnya ya =)

jangan lupa vote / comment. makasih semuanya udah baca, maaf masih banyak kekurangan dan kasih saran banyak-banyak yaaa. ditunggu loh =)

faster than a weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang