Dia mendengarkannya dengan saksama, mengira-kira dengan telinga dan hati sampai merasakan kecocokan. Itu berarti pikirannya telah melayang; membayangkan tempat-tempat lain di mana Taehyung ingin mendengar suara itu berkali-kali, memanggil namanya. Senyum dingin terbit di bibir pemuda itu, selagi ia menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna biru langit.

"Ini apa?" tanya Jiyoo bingung, membalik sisi demi sisi amplop yang dia terima.

"Itu dirimu. Aku tulis dan lipat bersama kertas."

Sebelum Jiyoo benar-benar mengerti, Taehyung sudah pergi, membawa langkah lebar ke luar gedung, meninggalkan kebingungan dan rasa penasaran di hati wanita yang kini terpekur heran. Rasa itu pula yang menuntun Jiyoo menepi ke undakan bangku penonton, duduk sembari memangku bola volinya. Dia membuka amplop itu dan mengeluarkan sepucuk surat yang ada di dalamnya. Jiyoo membaca kata demi kata yang tertulis di sana sembari mengagumi bentuk tulisan miring dan bergaris kecil, seakan digurat dengan pena berujung runcing dengan begitu rapi.

Sekali membaca pipi Jiyoo merona merah, namun masih ada rasa tak yakin bahwa semua itu ditujukan kepada dirinya. Jadi, dia membacanya lagi hingga berkali-kali. Untuk kedua kalinya, tulisan itu membuat Jiyoo tersenyum sendiri, tanpa sadar bangkit dari bangku dan membiarkan bola volinya menggelinding tak tentu arah. Dia membaca isi surat itu untuk yang ke tiga kalinya dan bertanya-tanya, apakah betul itu dia yang Taehyung bicarakan?

Jiyoo berdiri di depan ruang ganti, di mana pekikan para atlet dan decit sepatu olah raga teredam sementara Jiyoo tenggelam menyaksikan pantulan dirinya di muka cermin. Kulit berkeringat, rambut dikuncir tinggi, perban membalut lutut dan jari-jarinya serupa cincin. Benar. Itu semua memang dirinya, tapi bagaimana bisa Taehyung menuliskannya kembali dengan cara yang begitu romantis?

"Kupikir kau ke mana!"

Jimin datang dari belakang, menyampirkan handuk kecil bekas keringat ke leher Jiyoo. Sontak wanita itu menghindar, melepaskan jeratan Jimin di bahunya, tak lupa menyembunyikan dirinya yang ditulis dan dilipat bersama kertas (sebagaimana yang Taehyung katakan tentang lembar puisi itu) ke balik tubuh.

"Aish-Lepas! Kau bau!" Jiyoo memekik dan berjalan mundur sebagai usaha pengalihan, sebab ia tak ingin siapapun tahu isi dari kertas itu... termasuk Jimin sekali pun.

-o0o-

Hampir setiap hari Taehyung datang ke gedung serbaguna hanya untuk duduk di sisi lapangan, menyaksikan Jiyoo berlatih bermain voli. Selama itu pula Taehyung selalu memberi puisi baru dengan amplop berbeda setiap harinya. Kuning cerah untuk Senin, biru langit untuk Selasa dan warna-warna lain yang tak dapat Jiyoo ingat persis untuk hari apa. Sebab, yang membuatnya paling terkesan adalah merah untuk Sabtu. Kata Taehyung, itu untuk keberaniannya memberi puisi, juga keberanian Jiyoo menerimanya. Termasuk untuk sabtu yang bergelora. Menurut Taehyung, Sabtu, Merah dan mereka berdua sangat cocok. Pada hari itu juga, Taehyung akan memberi puisi yang lebih mempesona; penuh misteri seperti warna merah, tapi menawan. Kendati Taehyung memberinya puisi setiap hari, tapi selalu saja ada ada hal baru yang masih bisa dia tulis tentang Jiyoo. Dan itu semua tertuang dalam merah hari Sabtu.

"Ahhrggh."

Wanita itu tergolek lemah di lantai hijau lapangan voli. Latihan solo yang dilakukannya terhenti seketika, dengan bola yang menggelinding entah ke mana. Beberapa rekan satu tim terbiasa dengan penampakan itu dan melanjutkan latihan seperti biasa. Mereka tetap memantulkan bola di udara, berlari mengitari lapangan dan beberapa lagi melakukan peregangan. Jimin dari sudut lain lapangan sudah hendak mengolok Jiyoo, namun langkah cepatnya terhenti seketika ketika mendapati pria asing bersetelan kemeja berjalan mendekati Jiyoo. Pria itu berjongkok dan tertawa kecil memandangi Jiyoo dari atas. Tak ada yang terucap dari bibir Taehyung ketika mengintip Jiyoo lewat kacamatanya, dia hanya tersenyum tipis memandangi atlet itu mengatur napas.

Be Careful, Taehyung✔️حيث تعيش القصص. اكتشف الآن