Ten

6.3K 463 17
                                    

Arin meringkuk di halte bus, tubuhnya sudah sangat menggigil dan tampaknya tak ada tanda tanda bus akan datang. Ia berusaha bangun darin duduknya dan memutuskan untuk berjalan kaki.

"Ah!" Ia terjatuh karena licinnya salju di jalanan dan angin berhembus begitu kencang.

Ia berusaha keras berjalan melawan badai itu walau rasanya begitu sulit dan berat.

Hingga lampu sorot mobil membuatnya menghentikan langkah kakinya dan sedikit memicingkan matanya karena sorot lampu itu. Mobil sport itu berhenti tepat di depannya dan seseorang turun dari dalam mobil.

"Arin? Ini benar kau?" Seruan itu membuatnya membuka matanya dan menatap sosok tinggi itu.

"Jason?" Gumamnya.

"Ayo naik, disini sedang terjadi badai." Ucap Jason.

Belum sempat mengiyakan atau menolak, tubuh Arin luruh dan jatuh ke dalam pelukan Jason.

"Arin!"

"Badannya sangat dingin," ucapnya segera membopong tubuh Arin dan menaikkannya ke dalam mobil.

***

"Kalian semua bodoh! Bagaimana bisa kalian tak bisa menemukan satu orang perempuan!" Amuk Ethan pada semua anak buahnya.

"Sial!" Ia menendang kursu tak jauh darinya. "Dimana kau Arin!"

Di sisi lain Arin terbaring kaku di ruang rawat rumah sakit. Dia terkena hipotermia, dan keadaannya cukup kritis.

Jason dengan setia menunggunya di luar  ruangan rawat. Tak lama Dokter keluar dari ruang pemeriksaan membuat Jason beranjak dari duduknya dan menghampiri Dokter.

"Bagaimana?"

"Keadaannya sudah mulai membaik," ucap Dokter pergi meninggalkan Jason.

Jason berjalan memasuki ruangan Arin dan terlihat Arin terkulai lemas di atas blangkar. Jason duduk di kursi yang ada di sisi blangkar seraya menggenggam tangan Arin.

"Kenapa aku merasa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu itu," gumam Jason.

Sejak saat dirinya bertemu Arin di kampus, ia sudah jatuh cinta pada Arin. Tetapi Arin tak pernah sedikitpun menyadarinya dan melihat pada dirinya.

***
"Kau sudah menemukannya?" tanya Vallen saat sampai di penthouse Ethan.

Vallen melihat Ethan kacau, wajahnya tampak kusut, rambutnya acak-acakan bahkan dia masih memakai jas yang kemarin ia gunakan.

"Kau mengkhawatirkan keadaannya atau mengkhawatirkan dia memilih kembali pada Ayahnya?" tanya Vallen yang mengambil duduk di depan Ethan.

"Aku tidak tau dia kemana," gumam Ethan mengusap wajahnya. "Aku masih sangat mencintainya, tetapi aku juga membencinya."

Vallen masih diam mendengarkan penuturan Ethan yang tampak dilema?

"Kenapa tidak kau jadikan dia pengecualian, Ethan. Bukankah cinta butuh pengorbanan?" Ucap Vallen.

"Pengecualian apa?" Pertanyaan seseorang serempak membuat mereka berdua menoleh, tak jauh dari pintu lift, Rachel berdiri dengan tas miliknya.

"Bukan apa-apa, ini hanya masalah pekerjaan," ucap Ethan.

"Benarkah begitu?" Tanya Rachel tak percaya.

"Iya Rachel, kau ini kepo sekali," ucap Vallen yang di jawab dengan dengusan oleh Rachel.

"Baiklah, Ethan, dimana Arin?" Tanya Rachel membuat Ethan membeku di tempatnya.

"Arin sedang keluar," ucap Vallen mewakilkan Ethan.

Un Perfect Wedding #CIA-1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang