Prolog

19.9K 1.2K 109
                                    



"Aku tidak menyangka kau akan menuruti perjodohan yang para orang tua itu rangkai," Natalie mendesah pelan sambil menghidu aroma sampanye di gelas bertangkai sebelum menyesapnya perlahan. "Kupikir, kau akan kabur mengingat kehidupan bebas yang selalu kau junjung tinggi seolah kau tipe yang tidak suka dikekang."

Evans tersenyum tipis ikut meneguk minumannya. "Untuk apa repot-repot melawan orang tua, Nat? Kupikir, ide menikah denganmu tidak terlalu buruk juga." Ia lalu mengangkat bahu tanpa menyurutkan senyum, tak peduli. "Di samping keluarga kita yang saling membutuhkan, rumah tangga kita pun tidak perlu menjadi suatu hal yang terlalu kau pikirkan. Kehidupanmu dan aku akan tetap indah seperti biasa. Percaya padaku, aku suami yang sangat membebaskan istrinya melakukan apa saja di luar." Dia meyakinkan dengan suara berat khasnya seraya agak mengejek ringan.

"Kau sesantai itu?" Natalie mengernyit.

"Tentu. Aku tidak masalah." Evans menilik Natalie dari ujung rambut hingga kaki. "Well, kau tidak terlalu buruk. Aku suka itu," ia menyeringai.

Natalie mendesah pelan. "Kuakui, wajahmu dan apa yang ada pada dirimu bisa dibilang ... hm, perfect!" Kemudian menggeleng, "and i don't like it."

Evans terkekeh santai. "Tentu saja kau tidak akan menyukai kesempurnaanku. Kau sudah memiliki kekasih, dan dia ajudan pribadimu, bukan? Jelas kami berbeda. Seleramu payah. Tapi, kuakui, kau cukup memiliki nyali untuk itu." Kekehannya terhenti berganti dengan senyuman miring. "Dan kabar baiknya, aku akan tetap membebaskanmu berhubungan dengannya. Kau pun demikian. Sesimpel itu. Aku sangat pengertian, bukan?"

"Yang benar saja," Natalie memutar bola mata, kemudian menatap lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Dalam keheningan, matanya menyusuri kesempurnaan yang ada di sana. Ia mengenakan setelan jas resmi putih, dilengkapi dengan kemeja dan celananya yang berwarna senada. Kecuali sepatu serta arloji mahalnya yang berwarna hitam. "Kau sempurna, tapi sangat disayangkan kau seorang pemain wanita yang andal."

"Ayolah, katakan saja. Aku tahu kau pun senang dan lega mendengarnya." Evans berdeham, "tidak perlu membahas hal pribadiku."

"Apa tidak bisa kita membatalkannya saja?"

"Kau secinta itu padanya?" Evans mengangkat alis, lalu menggeleng samar dengan seulas senyum yang masih menghiasi bibir. "Tidak bisa. Kau tahu sendiri ayahku seperti apa."

"Kau benar-benar pecundang, takut pada ayahmu sendiri!"

"Bagaimana denganmu? Bukankah kau pun takut juga? Lalu, apa bedanya? Sudahlah, Nat. Kita terima saja. Setelah menikah, kita bisa hidup seperti biasanya." Evans berujar enteng sekali tampak tidak terbebani.

"Ini yang aku tidak bisa terima dari dirimu. Kau berpindah dari satu wanita ke wanita lain."

"Ya ampun... jangan bilang kau akan cemburu jika aku melakukannya? Oh please... I don't love you." Geli, nada suaranya meringis membayangkan hal berbau cinta. Maksudnya, dia benar-benar tidak membutuhkan itu.

"Same here. Aku hanya tidak ingin menghabiskan sisa hidupku untuk pernikahan status demi membahagiakan ambisi mereka." Tukas perempuan berambut pendek itu agak jengkel. Ia lantas melemparkan pandangan ke jalanan di bawah restoran mahal itu.

"Bukan hanya mereka saja. Kita juga diuntungkan,"

"Apa?" Natalie kembali menoleh.

"Kita tidak akan dipecat jadi anak." Lalu Evans tertawa.

"Berapa wanita yang pernah kau tiduri?" tanya Natalie tiba-tiba.

Evans mengangkat tangan dan menghitung jemarinya.

Sementara Natalie berdecak, "Tidak terhitung!"

"Exactly. Tidak terhitung." Evans tersenyum usil dan itu terlihat amat memesona. Jika Natalie tidak ingat bagaimana kehidupan liar seorang Evans Luther, mungkin ia akan langsung jatuh pada pesonanya.

"Aku bahkan tidak yakin kau pernah mengalami jatuh cinta." Gumam Natalie pelan.

"Jatuh cinta?" Evan menyahut dengan tawa. "Kita bukan anak ingusan lagi yang membicarakan hal-hal melankolis seperti itu. Dan aku juga tidak tertarik melakukannya, sementara sekarang aku sudah cukup bahagia tanpa kekurangan wanita."

"Ya, ya... tentu. Siapa yang akan menolakmu. Para gadis jelas berlomba-lomba melemparkan diri padamu."

Tersenyum, Evans mengangkat gelas sampanyenya. "Pengalamanku akan membuatmu senang. Percaya saja." Ia menyandarkan punggung dan menatap Natalie tak menyurutkan senyum. "Jadi, bagaimana? Aku harus segera pergi. Para wanitaku sedari tadi sudah menghubungi. Atau ... kau ikut saja bergabung dengan kami, mungkin?"

"Apa mereka tahu kau seperti ini?"

"Siapa maksudmu? Orangtuaku?" Natalie diam menunggu jawaban. "Mereka tidak akan peduli dengan kehidupan apa yang kujalani. Yang penting aku mematuhi apa yang mereka mau, kehidupan seperti apapun, tidak akan terlalu mereka hiraukan. Ini menyenangkan, bukan?"

"Cukup menarik. Aku pikir kau akan menentangnya." Natalie mengangguk-anggukan kepala.

"Hanya buang-buang waktu." Lantas ia memutari meja dan berjalan mendekati Natalie, menepuk pelan bahunya. Ia kian mengikis jarak dan berbisik, "Jika kau sangat tidak ingin menikah denganku, silakan batalkan saja. Tapi, maaf, aku tidak bisa membantu terlalu banyak." Ucapnya dengan pandangan ke depan dan wajah menyunggingkan senyuman.

Setelahnya, ia menegakkan tubuh seraya merapikan kemejanya. "Aku pergi. Hubungi aku jika butuh bantuan."

***
TBC!

Mau bilang apa ya? 😂 Cuma ini cerita dispesialkan buat adikku yg tgl 26 nanti ultah. Dia suka banget sama Chris Evans, so here we go. 🙌🏻🙌🏻

 🙌🏻🙌🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang