chapter 4 : sight I

Mulai dari awal
                                    

"Aku bukan salah satu dari mereka."

Aku terhenyak kaget. "Kau bilang apa barusan?" tanyaku, berusaha tidak terdengar terkejut.

Bunyi berdenging terdengar lagi untuk ketiga kalinya. "Kubilang, aku bukan salah satu dari penyerang itu. Aku nggak menyerang orang-orang tak berdosa."

Terjadi lagi, kataku dalam hati seraya menelan ludah. Sama seperti si petugas bandara tadi, pemuda ini juga seakan-akan bisa membaca pikiranku.

"Bagaimana kau bisa tahu...isi kepalaku?" tanyaku ragu, merasa agak konyol dengan pertanyaan itu. Belum tentu juga tadi dia membaca isi kepalaku, kan? Bisa saja tadi ia hanya menebak-nebak.

"Bagaimana mungkin aku nggak mendengarnya kalau kau selalu meneriakkan isi kepalamu setiap saat begitu?" tanyanya balik, suaranya datar tapi kekesalannya kental terasa.

Apa? Aku nggak pernah meneriakkan apa yang kupikirkan.

"Tuh, kan, kau melakukannya lagi!" Dia menunjuk ke arahku. Suaranya meninggi di setiap kata yang terlontar dari mulutnya. Kasar.

"Tapi aku benar-benar nggak bilang apa-apa!" balasku jengkel.

Terdengar suara berderit dari atas pesawat. Aku mendongakkan kepalaku terkejut, tak ada apa-apa di sana tapi suara berderit itu terus berlanjut. Aku menoleh pada pemuda itu lagi, menemukannya sedang mendongak sepertiku tadi dan berwajah masam-atau setidaknya mulutnya terlihat melengkung tidak senang, aku tidak bisa mengenali ekspresinya.

"Makhluk-makhluk menyebalkan itu mencoba merobek lapisan pesawat," katanya padaku muram. Dia terdiam beberapa detik sementara bunyi berderit itu masih terdengar, berpikir, lalu menghela napas keras-keras. "Crap, aku sama sekali nggak tahu harus bagaimana."

"Berikan aku pistol itu," usulku. Ide gila, aku juga kaget sendiri mendengar diriku mengatakan itu.

Alisnya bertaut. Lengkungan mulutnya semakin dalam, jelas dia tidak suka akan gagasanku. "Memangnya kau mau apa?"

"Aku bisa menembak malaikat-malaikat mimpi buruk di luar sana itu," jawabku mantap.

Dia mengangkat sebelah alisnya mendengar istilah 'malaikat-malaikat mimpi buruk' yang kugunakan untuk menyebut para makhluk di luar (oh ayolah, aku bahkan tidak tahu mereka itu apa, aku masih setengah percaya bahwa sekarang aku sedang bermimpi dan apa yang sedang terjadi saat ini tidak nyata, hanya mimpi buruk yang akan hilang setelah aku bangun nanti) tapi dia tetap tidak menyerahkanku raygun miliknya. "Not a chance."

"Masih lebih bagus daripada kau yang melakukannya," aku berusaha meyakinkannya dengan nada kesal. Orang ini menyebalkan sekali.

Dia diam saja, enggan menyerahkanku pistol-OH-DEMI-TUHAN-sangat mahalnya itu. "Biar kutebak, kau bahkan nggak bisa menembak jatuh satu pun dari mereka tadi," tambahku. Aku berputar haluan, jika tidak bisa kubujuk, aku masih bisa menyudutkannya. Ha!

"Lebih baik aku mencoba menembak ribuan kali daripada harus menyerahkannya padamu!"

Astaga, orang ini benar-benar minta dibantai.

Pesawat berguncang lagi. Aku melihat celah dan merebut pistol itu darinya. "Hey! Apa yang kau lakukan?!"

"Berhentilah bersikap keras kepala, ini keadaan darurat! Kita bisa MATI!" teriakku padanya sambil berlari ke arah jendela terdekat. Aku langsung berkonsentrasi dan membidik salah satu makhluk yang sedang melayang di sekitar pesawat. Aku mengokang pistol-yang tidak kusangka ternyata sangat berat. Salah satu lampu pada sisinya mati dengan bunyi PIP. Kusadari bahwa setelah beberapa bunyi PIP, lampu yang mati itu menyala lagi.

Aku sedang bersiap-siap menarik pelatuk ketika aku mendengar suara pemuda itu tepat di belakangku. "Jangan lihat cahayanya, kau bisa buta. Tutup matamu saat menembak."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[R] AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang