Bab 1

764 12 5
                                    

(Ini motor yang dipakai Ardian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Ini motor yang dipakai Ardian. Gak penting banget sih buat diinget. Tapi penulis suka sama motor ini)

1.

Ardian menyukai petrichor. Ketika gerimis mulai terasa menebal garisnya, dia memilih menyisikan Megapro hitam ke sebuah warung kopi. Aroma tanah kering yang tertimpa air hujan langsung menyelinap ke hidungnya. Itulah petrichor.

Si Hitam yang sudah dimodifikasi dari mesin 155 cc ke 200 cc, diselamatkan pria bermata elang itu dari cucuran air langit. Bukan cuma mesin, rangka dan bagian lainnya pun sudah direstorasi.

Ardian duduk di bangku kayu panjang, sambil meletakkan helm di atas meja. Tak ada pengunjung warung selain dirinya.

"Kopi item, Bu," Ardian memesan minum sebelum kembali menghirup pretichor yang sebentar lagi bakal menghilang. "Jangan dikocek ya, Bu."

Bu Warung bergegas mengerjakan pesanan yang membuat kantuknya hilang. Tadi dia sudah pasrah hari ini hanya akan mengantongi uang dari yang membeli dua batang rokok ketengan. Senin bukan hari baik untuknya sebab jarang orang melalui jalan di depan warungnya. Beda dengan akhir pekan atau hari libur lainnya.

"Mau ke Ciwidey?" Bu Warung mengajukan pertanyaan standar yang sudah diucapkannya ribuan kali setiap menyajikan kopi kepada pembeli baru.

"Iya, Bu."

"Pelesir?"

"Pindahan."

Si Ibu hanya tersenyum. Mengira jawaban bercanda. Mana ada orang pindahan hanya naik motor dan membawa tas ala tukang pos. Orang yang hanya mau menginap di villa semalam saja akan membawa bekal lebih banyak dari itu.

"Sering hujan di sini, Bu? Di Bandung masih panas," tanya Ardian sambil menggoyang gelas di depannya agar bubuk kopi yang mengambang di permukaan air segera tenggelam.

"Sama di sini juga masih halodo. Hujan begini mah paling sebentar lagi berhenti," jawab si Ibu sambil mengamati pria di depannya. Usianya mungkin menjelang 30 tahun. Entah sudah menikah atau belum. Tapi si Ibu tidak melihat ada cincin di jari manis pria itu. Bahkan, di jari lainnya.

Ardian meletakkan gelas di tangannya. Ponsel di jaket kulit cokelatnya berbunyi. Dia melirik sebentar ke layar ponsel. Wajah Pak Robby terlihat jelas. Panggilan masuk video call. Ardian menerimanya.

"Sudah sampai villa, Ar?" pria stengah baya dengan bentuk muka bulat, mata sipit dan kumis tipis tampak di layar ponsel.

"Belum, Bos! Masih di jalan. Mungkin 5 kiloan lagi. Neduh dulu. Hujan nih."

"Apa kata saya juga. Disuruh bawa mobil nggak mau."

"Kalau si Hitam nggak dibawa, nanti dia kangen," jawab Ardian sekenanya. Dia tahu nada cemas di suara Pak Robby bukan main-main. Sudah pasti Pak Robby tak ingin dirinya kehujanan, lalu jatuh sakit. Nanti efeknya, proyek yang tengah melibatkannnya bakal tertunda.

Rintihan KuntilanakWhere stories live. Discover now