Pohon Cengkih Wak Kaji Soetikan (Episode 1)

10 0 0
                                    

oleh Muhif

Rinai masih turun hingga hampir senja begini. Kupandangi terus laju detak jam dinding, khawatir hujan tidak reda sampai pukul empat, tiga karung tebu yang dipesan kepadaku tidak akan sampai kota tepat pada waktunya, bahkan jika alam menghendaki hujan seharian, semua hasil panen di dukuh ini tidak akan terangkut. Maklum, kampungku berada di ujung timur kota Surabaya, hanya dua kali setiap hari angkutan menuju kota melewati jalan makadam yang jika hujan berubah menjadi penuh lumpur ini, tiap pukul enam pagi dan pukul empat sore. Jika beruntung hari ini, angkutan akan lewat tepat depan rumahku, namun jika hujan tidak kunjung reda, angkutan hanya berhenti di pedukuhan, kira-kira tiga kilometer dari rumahku.

Beruntung! Pukul empat kurang lima belas hujan berhenti, namun tetap saja angkutan tidak akan sampai kesini, aku harus segera bergegas mengayuh sepedaku, mengangkut tiga karung tebu sambil menerjang lumpur jalanan menuju pedukuhan.

Aku melakukan semuanya seorang diri untuk bertahan hidup, maklum saja, ayahku adalah anggota Tentara Hisbullah, kini ia diminta bersiaga di pesisir timur pasca insiden penyobekan bendera belanda di Hotel Yamato beberapa waktu lalu, walau aku sudah mendengar di radio bahwa perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani, ayah tak kunjung pulang. Ibuku seorang pedagang, tapi aku tak tahu kemana jasadnya kini, ia meninggal karena perahu tambangan yang digunakannya untuk menyebrang ke Kecamatan Sukolilo karam saat ia hendak berjualan. Siang itu terlalu gelap untuk kuceritakan - saat Cak Kamto berlari kencang ke rumahku membawa kabar bahwa perahu yang ditumpangi ibuku karam. Mungkin jasadnya ada di dasar sungai atau sudah terbawa ke laut lepas. Aku sendiri mencukupi kehidupanku dengan menjadi makelar tebu kecil-kecilan untuk dikirim ke kota setiap harinya.

Tak terasa di sore yang dingin ini, tiga kilometer ringan terlampaui dengan mengayuh sepeda. Angkutan bergegas untuk berjalan keluar dari pedukuhan.

"Pak Supir, titip tebuku, ojok mlaku sek!" teriakku sekencang-kencang pita suara mampu bergetar.

"Yo, cak!" timpalnya.

Segera kuangkut satu demi satu karung tebu ke dalam angkutan bus hijau beroda enam yang mengangkut penumpang dan barang-barang sekaligus dalam satu kabin. Di lantai dan kursi belakangnya penuh dengan barang-barang hasil pertanian, sementara penumpang duduk berdesakan diantara karung tebu dan beras.

"Suwun, yo, cak!" ujarku.

"Siap! Jangan lupa ongkosnya sama yang kemarin, Cak Di!" balasnya.

"Ongkos kemarin belum dibayar sama pemesan?"

"Belum."

"Ah, kalau begitu aku utang dulu, kalau besok lewat depan rumah, tak bayare kabeh!"

"Siap! Yo wes, ndelok mene ae aku tak narik selak bengi."

"Ati-ati, cak!"

Udara hari ini sangat dingin, matahari juga kian turun menyembunyikan dirinya di barat lazuardi. Aku masih harus mengayuh sepedaku pulang melewati jalan becek yang kini menjadi semakin dingin karena malam menjelang. Kulangkahkan kaki untuk sebentar singgah ke warung di sebelah timur pedukuhan untuk sekadar membeli kretek.

"Samsu siji, ning!" pesanku pada penjaga toko.

"Oh, bentar mas... - Mil - Mila! Dolono mas iki Samsu siji sek!" serunya, entah kepada siapa di dalam rumah yang ada di belakang toko, mungkin Mila adalah anaknya.

Muncullah dari balik pintu sesosok gadis ayu

"Rong sen, mas." Katanya selepas mengambilkan sebatang kretek untukku.

Aku terdiam memandanginya, dia cantik dan - aku tidak bisa berkata-kata - tak pernah kudengar suara seindah ini.

"Mas! Sido gak?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 17, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pohon Cengkih Wak Kaji SoetikanWhere stories live. Discover now