Adjoining Corridors

4.7K 998 75
                                    

Bisa dibilang aku tidak terlalu dekat dengan Rian bila dibanding dengan Akbar dan Dandi, Rian itu seperti mempunyai tabir khusus. Terkadang aku merasa sangat mengenalnya, tapi kadang kala aku merasa tidak begitu mengenalnya dengan baik. Padahal kami sudah bersahabat kurang lebih selama sepuluh tahun.

Selama ini aku terbiasa bergantung kepada Dandi, namun semenjak Tira hadir di kehidupannya, aku mulau mundur perlahan. Sebagai perempuan, aku mengerti perasaan Tira, untuk itu aku memutuskan untuk tidak terlalu sering menghubungi Dandi seperti dulu.

Sebagai seorang sahabat, aku mengerti, bahwa pada saatnya nanti aku harus melepaskan mereka yang terbiasa selalu ada untukku, bersama pasangan hidupnya, tanggung jawabnya. Tapi kini saat waktu itu tiba, sekelumit kekhawatiran itu ada. Kekhawatiran untuk dilupakan, dan diabaikan.

"Brigita! Ada Rian tuh di bawah. Lama amat kamu dandan?" seru ibu yang membuatku segera bergegas untuk memasukan liptint, parfum dan dompet ke dalam tas.

Rian menunggu di ruang tamu dan mengobrol bersama Ayah. Mengenakan celana berwarna coklat pastel dan atasan berwarna hijau mint muda. Senada dengan rok dan kebaya yang kugunakan untuk acara perhelatan Alisa dan Akbar hari ini.

"Om nggak nyangka kalian udah sebesar ini dan pada mau menikah. Dulu kalian belajar bareng di rumah, ketiduran di ruang tengah, habis UN malah larinya ke rumah dan eksperimen masak-masak, pada nangis waktu pisah kota saat kuliah, waktu cepet berlalu ya. Kamu kapan Yan nyusul Lisa sama Akbar?"

Rian melirikku dan terkekeh pelan. "Masih proses nyari Om. Doakan aja Om semoga dapet yang terbaik."

Aku mencibir dalam hati. Rian tidak pernah membuka hatinya kepada siapa pun semenjak pengkhiatan yang dialaminya. Apanya yang bisa disebut proses mencari?

"Pasti Om doakan, kalian udah Om anggap kayak anak sendiri."

Ayah memang menganggap para sahabatku selayaknya anak sendiri. Sebagai anak tunggal, aku sudah menganggap mereka selayaknya saudara. Mereka lah yang selalu ada kapan pun aku membutuhkan.

Ayah melirik ke arahku yang sudah bersiap. "Udah selesai dandannya? Kasian tuh Rian udah nunggu lama."

"Yan, ayok!" ajakku mengabaikan perkataan Ayah.

Ayah pasti akan selalu memberikan wejangannya kepada para sahabatku yang datang hingga lupa waktu, dan bila aku tidak menginterupsinya, kami bisa terlambat datang ke acara Alisa dan Akbar. Aku tidak ingin kupingku menjadi korban lengkingan suara Alisa yang sedang murka.

"Ayah Ibu kapan datengnya?" tanyaku saat Rian mulai berpamitan kepada Ayah.

"Nanti pas jam resepsi. Kalian duluan aja," jawab Ayah.

"Om, kami duluan ya,"

"Hati-hati, Nak."

***

Acara ijab kabul Akbar dan Alisa siap dilaksanakan. Aku, Rian, Dandi dan Tira termasuk ke dalam barisan terdepan untuk melihat keduanya mengakhiri masa lajang.

Perjuangan Akbar yang mengharapkan Alisa dalam diam berakhir dua tahun yang lalu, saat Alisa mengalami kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawanya. Rasa takut kehilangan itu begitu terpampang dengan nyata, dan Akbar memutuskan untuk mengungkapkan segalanya, mengungkapkan isi hatinya yang terdalam kepada Lisa.

Alisa awalnya tidak percaya dengan pernyataan Akbar, tapi seiring berjalannya waktu, ia bisa melihat ketulusannya. Akbar selalu menemaninya dalam masa pemulihan, tidak pernah absen dalam setiap prosesnya. Hingga Alisa menyerah terhadap prinsipnya jika koridor persahabatan bertolak belakang dengan cinta. Nyatanya, koridor itu ternyata berdampingan, dan terhubung di ujungnya.

The Game at RiskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang