"Iya, tetep aja nggak usah. Bapak kalau mau jenguk sendiri aja."

Dahi Azzam mengkerut merasakan kepalanya berdenyut. "Iya, terserah kamu."

Sendra tertegun atas jawaban Azzam. Yah, apa yang mau Sendra harapkan dari lelaki yang sudah ia tolak? Mengharap dia mengejarnya lebih keras lagi? Sendra lah yang telah menyiakannya, lantas kenapa dia yang merasa kehilangan sekarang? Apa dia harus mengemisnya? Terdengar lucu bagi Sendra yang notabene selalu menjadi pihak yang diminta. Namun, bukan Sendra namanya jika ia menyerah dengan keadaan.

"Pak," panggil Sendra dengan suara halus yang tidak biasa. Azzam mendongak. "Kalau Bapak mau jadi pahlawan saya, Bapak harus bisa ngalahin saya."

Kedua alis Azzam menukik. Tidak paham dengan maksud ucapan Sendra.

"Ya, dalam hal kekuatan, kok. Kalau kecerdasan, jelas menang Bapak. Jadi kalau Bapak mau jadi pahlawan saya, Bapak harus lebih kuat dari saya. Kalau dalam versi Srikandi, pas Janaka mau lamar dia, Srikandi itu kasih syarat buat Janaka. Dia harus bawa wanita lain yang pinter manah buat ngalahin Srikandi. Nah, kalau Srikandi kalah, baru Janaka boleh mempersunting Srikandi."

Azzam tertawa setelah paham maksud Sendra. Ah, wanita yang satu ini tidak akan lepas dari hal-hal berbau budaya, tapi apa harus sejauh ini. Ayolah, ini perkara asmara dan bisa-bisanya dia melibatkan sosok idolanya yang merupakan tokoh fiksi baginya, si Srikandi itu.

"Kok malah ketawa, Pak?" Sendra merasa tidak terima persyaratannya dianggap lelucon. Walau dipikir-pikir lagi, ini memang lucu. Namun, jika tidak begini, Sendra merasa tidak punya cara lain lagi untuk menahan Azzam. Gengsinya terlalu tinggi dan kadar perjuangan dari Azzam rendah. Lantas bagaimana mereka bisa bersama?

Paham jika Sendra tersinggung, Azzam akhirnya menghentikan tawa. Pria itu bersedekap di atas meja, menatap Sendra tetap di matanya.

Berantakan begini pun masih cantik, batin Azzam memuji. Tanpa sadar bibirnya melengkungkan senyum.

"Srikandi minta—siapa tadi namanya?"

Wajah Sendra berubah jengah. "Janaka."

"Iya, Janaka. Dia minta Janaka bawa wanita lain buat ngalahin dirinya sendiri. Terus kenapa kamu minta saya buat ngalahin kamu? Nggak sesuai, dong."

"Lho, yang mau jadi pahlawan saya itu Bapak atau orang lain?"

Azzam mengerjap. Benar juga kata Sendra.

"Jadi saya harus ngalahin kamu dalam hal kekuatan? Bukannya itu malah bikin saya nggak bermoral dengan bertarung—astaga, bertarung." Azzam tertawa lagi akan kalimatnya sendiri. "Masak saya harus bertarung sama kamu?"

"Ya, nggak pa-pa. Toh, itu syarat dari saya."

"Oke, kalau itu mau kamu. Gimana caranya?"

Senyum Sendra mengembang. Dadanya bergemuruh karena terlalu senang. Persyaratan darinya diterima Azzam. "Niatnya saya mau nantangin Bapak memanah. Tapi, rasanya nggak adil kalau saya sudah pro, sedangkan Bapak—'

"Oke, memanah. Saya juga bisa kalau taekwondo, tapi untuk silat, saya buta soal bela diri itu."

Makin girang, Sendra menangkup kedua pipinya. Jantungnya bergemuruh dan seluruh tubuh terasa memanas. Seolah dimintai penegasan, Azzam mengangguk. Yakin.

"Yaudah, dua-duanya kalau gitu."

Kini keduanya saling melempar senyum. Terlalu sibuk dengan euforia di dalam diri mereka sendiri. Namun, wajah Sendra dulu lah yang berubah. Seolah dia baru menyadari sesuatu.

"Kalau Bapak bisa bela diri, kenapa dulu gampang banget K-O?"

Azzam paham kalimat Sendra yang merujuk ke arah 'dulu'. Sudah pasti saat pertemuan pertama mereka. Untuk itu, Azzam benar-benar merasa malu. Bukan untuk kekalahannya, melainkan tindakan bejatnya yang gagal terlaksana. Namun karena Sendra terlihat masih menuntut penjelasan, akhirnya Azzam mengangguk dan menghela napas.

"Yah, saya memang mengalah. Lagipula untuk apa saya membela diri? Saya pantes dapetin itu."

"Kalau ngerasa pantes dapet itu kenapa ketawa?"

"Kenapa baru tanya sekarang? Bukan dari saat saya minta maaf?" Azzam sebenarnya tidak mau melanjutkan percakapan ini.

"Jawab!"

"Yah, karena saya gila." Astaga ini memalukan sekali, batin Azzam. "Yah, gimana bisa ada orang yang—uhuem—merasa terangsang karena seorang penari, terus dia langsung membelinya? Coba kamu pikir, itu gila tidak?"

Bukannya tersinggung atas kejujuran Azzam yang sebenarnya frontal, Sendra malah terbahak. "Gila banget, Pak. Sampe rumah aja saya masih mau ngakak, tapi kesel juga."

Azzam menggaruk tengkuk. Merasa kikuk.

"Ya, sdah, kita bicarain ini lain kali lagi. Kamu pulang sana."

"Diusir, nih?"

Azzam berdecak. "Bukan gitu."

"Iya, iya. Uhum, Bapak mau saya bikinin kopi dulu sebelum pulang?"

Setelah merasa sedikit rileks, Azzam mulai memegang berkas  lagi. "Nggak usah. Terima kasih."

"Itu kayaknya Bapak ngantuk banget, lho."

"Saya nggak minum kopi."

"Lho, kenapa?"

Azzam menghela napas. Bukan karena jengkel, tapi gemas. Rasanya Sendra seperti ibunya yang cerewet, tapi Azzam menyukai itu. Daripada didiamkan sepenuh hari. Asalkan ada, kecil pun pada. Azzam menyukai perhatian kecil yang terkadang dianggap remeh oleh kebanyakan orang.

"Saya punya maag kronis, jadi saya berhenti minum kopi."

"Terus kopi yang saya kasih dulu pas minta maaf?"

Merasa tertangkap basah, Azzam mengembalikan fokusnya pada Sendra. Dia meringis. "Saya suruh Fadil yang minum."

"HAH!"

Setelahnya Sendra keluar tanpa pamit dengan wajah jengkel dan Azzam membiarkannya.

Seperti ucapannya dulu, beberapa orang mungkin tidak memahami tindakan Sendra, tapi entah mengapa, Azzam merasa ia memahaminya. Wanita itu memang pergi, tapi Azzam yakin bahwa Sendra telah memutuskan untuk meninggalkan hatinya meskipun harus diganti dengan imbalan yang sepadan.

[.]

Sendratari [Novel Tersedia di Shopee]Where stories live. Discover now