19. Syarat

27K 4.3K 46
                                    

"Maaf, Pak. Untuk saat ini saya masih sanggup, kok, buat jagain diri saya sendiri."

Sendra benar-benar menyesali kalimat itu meluncur dari mulutnya semalam setelah Azzam menyatakan kehendaknya untuk menjadi pahlawan Sendra. Meskipun ia menjawab tidak secara serta merta, melainkan telah memikirkan berbagai hal dengan banyak pertimbangan, hingga dia malah terdiam lebih dari setengah jam, baru Sendra menjawab. Azzam tidak menuntut, ia menunggu dan saat jawaban telah keluar, ia pun hanya menanggapi dengan senyum simpul.

Mungkin dia cuma kasian, batin Sendra.

Setelah itu pun, Azzam masih mengajak Sendra bicara seperti biasa hingga subuh, baru pria itu pulang. Dia bilang hendak pergi ke kantor.

Sepeninggal Azzam, Sendra malah seperti orang linglung. Tidak tenang. Padahal Dalang terlihat sudah membaik setelah sarapan. Tinggal menunggu proses ronsen nanti siang.

Kala Sendra termenung dengan pikirannya sendiri yang entah kenapa tidak tenang, Ansori datang dengan sekeranjang buah di tangan. Ia tidak sendiri, ibunya ikut serta dengan serantang makanan.

Meskipun keadaan begitu cerah, apalagi dalam ruang inap Dalang, tidak akan pernah sepi jika sejoli karib itu bertemu. Ya, Dalang dan Ansori tentunya. Namun, kegelisahan Sendra makin tak tertahankan. Akhirnya ia memutuskan untuk pamit sebentar dengan alasan masih memiliki pekerjaan di kantor.

"Maaf, ya, Buk."

"Iyo, wes, lah. Ndak pa-pa. Ati-ati di jalan."

Sendra mencium tangan ketiga orang di dalam kamar tersebut. Dalam kecepatan sedang, ia menuju hotel.

Dengan setelan santai, celana training, kaos oblong, sendal jepit dan rambut diikat secara asal, Sendra memasuki area kantor yang tidak terlalu ramai karena ini adalah akhir pekan. Namun, ia berhasil menangkap sosok Azzam di dalam ruangannya. Entah kenapa Sendra merasa lega.

"Sen, ngapain lu di sini?" tanya Fadil kala melihat Sendra duduk di kubikelnya.

Tersenyum kikuk, Sendra hanya menggeleng lemah. "Aku masih ada kerjaan yang belum kelar."

"Analisis yang buat acara nikahan anaknya Pak Hartono?"

Sendra mengangguk. Mata Fadil yang sudah sipit memincing. "Itu udah diurus sama Bos."

Hati Sendra makin terasa tak enak. Pasalnya ia sudah menolak Azzam dan sekarang pria itu malah harus mengerjakan perkerjaannya. Yah, biarpun Sendra tahu, itu bukan perkara sulit bagi Azzam, tapi rasanya tetap tak enak.

"Udah, pulang sana. Masmu siapa yang jaga kalo lu di sini?"

Sendra menunduk. Mengamati jari yang saling terkait satu sama lain dan ia melirik ke arah ruangan Azzam. Di sana, pria itu masih bekerja seperti biasa walaupun semalam ia tidak tidur. Sendra menghela napas dan bangkit. Ia berjalan menuju ruangan Azzam. Fadil hanya diam melihatnya.

Sendra dipersilahkan masuk oleh Azzam. Pria itu dengan mata berkantung, terlihat lelah, tapi masih memberikan perhatiannya atas kedatangan Sendra.

"Saya kan sudah bilang, kerjaan kamu saya yang handle."

Sendra mengangguk.

"Terus?"

"Nabrak, dong, Pak."

Azzam memijit pelipis. "Iya, iya. Sekarang kamu balik ke rumah sakit saja. Nanti sore, saya jenguk sama orang kantor lain."

"Jangan! Eh, maksud saya nggak usah ajak orang-orang kantor."

"Lho, kenapa?"

"Yah, nggak usah aja. Malah ngerepotin nanti."

"Nggak. Saya bakal ajak yang mau saja."

Sendratari [Novel Tersedia di Shopee]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant